Holaaa. Gimana gimana hari ini? Langsung baca aja wes.💜💜💜
"Gan." Arum masuk ke kamar putranya dan melangkah lebar ke sisinya di balkon. Gani membuka kedua tangannya lebar-lebar, bertumpu pada pagar pembatas balkon. "Mamanya Asha cerita kemarin habis kamu anterin, Asha ngomel-ngomel. Emang kalian berantem?" Arum memiringkan tubuhnya menghadap Gani. Sikunya tekankan di pembatas tembok.
Pria itu menggeleng. "Nggak, Bun. Asha kan ya gitu," jawabnya enteng seraya tersenyum membuat lesung pipinya terlihat. Mengingat wanita itu ngomel-ngomel karenanya menciptakan kesenangan sendiri baginya.
"Gitu gimana?" Arum kan jadi penasaran.
Gani mengubah posisinya menghadap bundanya, Menyandarkan sebagian tubuhnya di pagar pembatas balkon, dan menjepit tangannya di ketiak. "Ya ngambek kalo nggak dijawab."
"Kenapa nggak kamu jawab kalo gitu?"
"Nggak apa-apa, Bun."
"Nggak apa-apa gimana?" ujar Arum yang mengubah posisinya sama seperti putranya.
Gani menghela napas panjang karena kejaran pertanyaan Arum. "Nggak terlalu penting, Bun."
Kini Arum yang menghela napas mendengar jawaban Gani. Pria dan kediamannya. Ia mengurai lipatan tangan untuk melingkarkan tangannya di lengan Gani. "Le. Wong wedok kui bedo karo wong lanang. Kalo laki-laki nggak akan cerita ato ngomong kalo ndak penting. Tapi kami ndak bisa gitu. Penting nggak penting buat perempuan itu penting. Kami ingin tahu semua hal dari pasangan kami, sekecil apa pun itu. Ancene kadang nggak bisa bantu apa-apa tapi dengan itu kami jadi seneng, artinya kami kalian percaya, kalian anggap keberadaan kami penting. Paham ndak maksud Bunda?" Ia menatap putranya yang diberikan anggukan olehnya. "Opo?"
"Intinya aku kudu berubah kan? Paham kok, Bun." Ia malas harus bertele-tele menjawab pertanyaan bundanya.
"Dadi piye (jadi gimana)?"
Kerutan dahi Gani terlihat menanggapi pertanyaan Arum. "Jadi gimana maksud Bunda?"
"Ya hubungan kalian. Kata Tante Windy, Asha ngira mamanya tetep jodohin sama kamu padahal nggak sama sekali. Kalo dari Bunda sih sengaja nyuruh kamu anter jemput dia. Ya itung-itung pdkt lah. Kamu nggak mungkin nggak tahu itu to?" Gani mengangguk. "Kenapa nggak nolak?"
"Biar tenang aja di rumah. Kupingku juga sakit kalo Bunda mulai ngomel, persis Asha."
"Ya Bunda kan emang gini, Gan. Kalo nggak gini mana bisa Bunda narik perhatian ayahmu. Wong kalian itu sama, sama-sama tembok. Untung Gala rame, jadi Bunda ada temennya." Arum bersungut-sungut mengingat kemiripan suaminya dan Gani. Untung saja sekarang suaminya sedikit berubah, jadi ia tidak terlalu kesepian jika berdua. "Gan. Jadi mau kan ngelamar Asha?" Arum berharap dengan sangat Gani mengiakan keinginannya.
Gani menatap lekat wanita yang sudah melahirkan dirinya tersebut dengan perasaan tak nyata. Ia meragu akan keberhasilan hubungan ini tapi melihat binar mata Arum penuh harap membuat Gani tak mampu menolak. "Iya, Bun."
Arum menatap tak percaya pada putranya? Telinganya pasti salah tangkap. "Beneran, Gan? Bunda nggak salah dengerkan?" Ia perlu memastikan pendengaran agar benar-benar yakin.
"Iya, Bun."
Arum teriak kegirangan. Ia melompat-lompat bahagia seperti anak kecil mendapatkan balon. "Kalo gitu Bunda telepon mamanya Asha dulu. Mau kasih tahu dia." Arum bergerak cepat meninggalkan Gani yang tersenyum melihat tingkahnya.
###
Asha duduk diam di atas kasur. Ia sedikit tak percaya jika sebentar lagi melepas masa lajangnya terlebih dengan Gani. Ketakutannya akan keberhasilan hubungan mereka—dua pribadi yang bertolakbelakang—menjadi momok dalam pikiran Asha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abu-abu
RomansaSetelah sekian tahun berpisah Asha bertemu kembali dengan Argani Caraka Garendra sebagai pria yang ingin orang tuanya jodohkan. Asha tidak tahu harus bersyukur atau bersedih dengan pertemuan itu, yang jelas hari-harinya akan membosankan seperti wakt...