Ketika Segalanya Terasa Impas

28 5 0
                                        

"Maaf mobilmu," kataku begitu tahu pemilik mobil yang aku sangka bakal memaki ternyata Alde.

Seorang wanita paruh baya dengan mengenakan kebaya warna magenta turut menghampiri. Meski memakai kebaya, riasan yang menempeli wajah tidak terlalu tebal. Alih-alih minimalis yang manis.

"Temanmu?" tanya wanita itu pada Alde.

"Iya, Ma. Dia ini penolong Alde waktu itu," sahut pria yang kali ini muncul seperti pahlawan untukku.

"Sebaiknya itu diobati De," ucapnya dengan ekspresi ngeri. "Ayo," ajaknya menggamit tanganku.

Pada detik itu aku hanya menurut. Sungguh aku ingin menghilang seketika untuk menyembunyikan rasa malu. Sekilas aku menangkap motorku sudah terparkir dengan aman. Entah siapa yang telah menyelamatkan.

Alde yang masih di luar mobil terlihat menangkupkan tangannya. Mungkin sedang mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang telah menyelamatkan aku dan sepeda motorku. Selanjutnya dia masuk ke mobil melajukan pelan, menempatkan mobilnya pada tempat parkir yang semestinya.

"Aduh," erangku lirih saat mama Alde mulai menempelkan obat merah ke luka-luka lecet yang aku derita. "Maaf Bu, jadi merepotkan," ucapku meringis menahan perih.

"Enggak kok," Mama Alde tersenyum. "Lain kali hati-hati."

"Kamu ngapain kemari?" tanya Alde menoleh ke tempat duduk di belakang, di mana aku sedang diobati.

"Tadinya sih, mau menghadiri pernikahan teman," kataku seraya meniup-niup perih yang tersisa. "Tapi malah dapat accident, hehe..."

"Di mana?" tanya Alde.

"Situ," ucapku menunjuk pakai ayunan mata dan kepala ke arah Choco World.

"Lho, teman Shaula yang siapa? Kami juga mau menghadiri resepsi di situ," tanya Mama Alde.

"Keduanya, Bu," sahutku kini tambah menahan perih di hati.

"Oh gitu," tanggapnya sembari menyimpan obat merah ke dalam kotak P3K kecil yang kemudian dia letakkan di bawah kursi. "Mama Grisel itu kakak tante," ucap Mama Alde memberitahukan hubungannya dengan kedua mempelai.

"Oh," tanggapku manggut-manggut. "Hah," aku memandang pada Alde yang masih berdiam di kursi kemudi. "Kamu saudara sepupu Senpai Grisel?"

Alde menanggapi dengan mengerutkan kening. "Memangnya kenapa?"

Aku menggeleng. Keterkejutanku sama sekali tidak ada hubungannya dengan Alde.

"Seharusnya kami datang dari tadi, jadi penerima tamu. Tapi kami baru pulang dari luar kota. Ada kepentingan keluarga dadakan." Mama Alde malah bercerita tentang kedatangannya yang bisa terbilang terlambat sebagai anggota keluarga.

Sudah menjadi adat kebiasaan memang, kalau masih kerabat pasti ikut bantu-bantu di acara resepsi pernikahan saudara. Paling tidak sebagai panitia among tamu, alias penerima tamu.

"Yuk De, kita masuk sekarang," ajak Mama Alde. "Kamu kalau mau masuk ke sana bareng kami aja."

"Tapi Bu," aku melirik luka-luka di tangan. Aku ingin beralasan kalau kakiku yang tadi tertimpa sepeda motor meninggalkan nyeri yang sangat. Mungkin luka lebam telah bersarang di sana.

"Masa sudah sampai di depan tidak masuk," bujuk Mama Alde. "Nanti saya anterin bersalaman sama mempelai."

Aku menelan ludah. Bukan tipeku menjadi manja hanya gara-gara jatuh dan menderita luka kecil.

"Iya, nggak apa-apa. Nggak terlalu mencolok kok," timpal Alde. "Ayuk!"

Tanpa mau membuat kedua penolong sekaligus korban motorku menunggu, tubuh telah aku gerakkan keluar mobil. Tangan mama Alde langsung menuntunku dengan hati-hati melangkah mengarah pintu masuk.

Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang