DFR | 05

6 2 0
                                    



_____________________________




Peluit dibunyikan bersamaan dengan semua orang yang berlari satu persatu melewati cone kerucut yang dibentuk zig-zag hingga di garis finish. Mores yang menjadi pelari pertama. Lelaki itu berlari dengan diiringi pekikan oleh sang pelatih.

“Mores tambahkan kecepatan berlarimu!”

“Seimbangkan badanmu, jangan sampai oleng!”

Ia berdecak, merasa bahwa dia sudah melakukan yang terbaik, tapi selalu mendapat koreksi. Coach Ruli menunggunya di garis finish dan bersiap menggetok Mores dengan topi kebanggaannya.

“Kembali ke belakang dan ulangi dengan benar!”

Mores tak banyak protes, ia berbalik dan berbaris kembali di belakang. Walau hatinya dongkol lantaran sejak pertama latihan fisik—seperti push up, back up, pull up, scott jump—selalu dikomentari coach Ruli.

Katanya dia terlalu lemah, tak bertenaga seperti mesin kendor, kurang makan dan kata-kata buruk lainnya. Entah apa yang membuat dirinya selalu salah dimata coach Ruli. Dari masuk ke club bola yang dia latih, Mores tak pernah sekalipun mendapat jempol, berbanding terbalik dengan Natha yang sudah mendapat predikat si anak emas.

“Badan kamu sudah seimbang Nat, tapi gerakan kakimu kurang cepat, sedikit lagi oke!” Coach Ruli memberi komentar dengan lembut sebelum peluit panjang dibunyikan tanda berakhirnya latihan.

Zig-zag run sudah selesai. Silakan istirahat dua puluh menit, lalu kembali ke lapangan untuk latihan passing. Terima kasih!”

Mores akhirnya bisa bernapas dengan lega. Dia tidak jadi maju dua kali karena waktu sudah habis. Ia melangkah ke bibir lapangan, menuju pada Stephanie yang sudah duduk di sana dengan membawa minuman isotonik sembari tersenyum ramah.

“Thanks, Step.” Mores mengambil minuman tersebut lalu menegaknya. “Lo habis ini pulang atau tungguin gue?”

“Tungguin lo aja, deh.” Step bangkit sembari menepuk roknya yang kotor lantaran terkena rumput. “Nanti mampir ke rumah lo boleh?”

Mores terdiam. Jelas ia akan menolak, namun melihat mata coklat itu yang berbinar dia jadi tak tega. “Mau hujan, Step.” Mores menengadah ke langit yang menggelap. “Lo pulang dulu aja, deh? Gue pesenin ojol, ya?” Cowok itu yang hendak mengambil handphone terhenti ketika tangan Step mencekalnya. Gadis itu menggeleng.

“Gue maunya sama lo, Moreszho. Masa main ke rumah doang nggak boleh? Apa lo takut Senna marah?” Stephanie menatap iris coklat yang serupa dengan dirinya, berharap keinginannya dikabulkan.

Dulu, ketika dia berpacaran dengan Mores selama kurang lebih tiga bulan, tak pernah sekalipun ia diberi kesempatan menginjakkan kaki di rumah cowok itu. Bukan dia yang enggan, namun Mores yang terlihat tak mau membawa ke kehidupannya, seolah tahu bahwa Stephanie memang tak tulus mencintainya kala itu.

Mores diam saja. Artinya dia benar. Cowok itu takut pacarnya marah karena mengajak mantan kekasihnya ke rumah.

Stephanie tersenyum penuh arti. “Res ... dengan lo bersikap seperti pacar yang baik, pacar yang menjaga perasaan pasangannya ... gue jadi semakin nyesel udah putusin lo.”  Diraihnya pundak Moreszho, berusaha menarik tubuh itu untuk ia dekap, namun langsung ditepis sang empunya.

“Stephanie!” Mata Mores menyalak. Gadis di depannya jelas mempunyai maksud terselubung dan ia tak mau terjerat untuk kedua kalinya. “Sekarang mending lo pulang, Step. Sorry, gue nggak bisa anter lo.”

“Kenapa, Res?” Stephanie terkekeh. “Kenapa lo mau-mau aja pertahanin hubungan toxic lo sama Senna? Kenapa lo mau jaga perasaan cewek yang nggak pernah jaga perasaan lo? Kenapa lo mau diperdaya sama dia?” Ia berdecak. “Gue tahu lo sadar dengan perlakuan Senna, Res. Tapi kenapa lo memilih tutup mata? Lo udah kehilangan kewarasan?!”

Different RouteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang