DFR | 07

9 2 0
                                    

__________________________________






Dalam kamus Senna tidak ada namanya kata terlambat. Semua harus tepat waktu, terstruktur dan terselesaikan dalam tenggat yang sudah ditentukan. Time is money adalah quote yang ia junjung dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti ketika mengerjakan orderan dari customer yang meminta untuk membuat undangan atau cover buku, serta lukisan dengan desain rumit, ia harus segera menyelesaikan pada saat itu juga—bagaimanapun caranya, tidak peduli dengan deadline tak wajar yang akan merepotkan dirinya.

Senna suka hal yang berbau Jepang. Dia suka bagaimana orang Jepang yang tidak suka mengulur waktu, menjaga kebersihan, bekerja keras, rajin membaca buku, tidak banyak bicara dalam bekerja dan kebiasaan baik lainnya. Selain suka budayanya, dia juga suka menonton kartun garapan negeri sakura seperti anime.

Mungkin alasan dia berteman dengan Aru juga karena dia suka orang Jepang. Tapi sayangnya lelaki itu tidak suka anime sepertinya justru lebih suka dengan drama korea.

Semalam Senna pulang larut malam setelah menjenguk Dedik di rumah sakit. Dan karena itu, untuk yang pertama kalinya Senna melanggar kebiasaannya. Dia datang terlambat. Pukul tujuh lebih sepuluh menit ia baru sampai di depan gerbang sekolah.

Pak Karno jelas kaget ketika matanya menemukan Senna lari tergopoh-gopoh dari ujung jalan. Hal langka, pikirnya. Untung saja hari ini adalah hari pertama Senna terlambat, jadi pak Karno masih memberikan dispensasi untuk gadis itu.

Setelah mengucapkan terima kasih pada satpam kebanggaan SMA Darma Bakti, Senna buru-buru menuju kelas.

"Gimana, Sen?"

"Astagfirullah!" Senna sontak memegangi dadanya yang berdegup kencang akibat terkejut. "Aru! Ngagetin aja lo!" Ia memandang sinis pada laki-laki jakung dengan poni belah tengah yang sedang memegang sapu serta pengki. Wajahnya datar kontras dengan Senna yang menampilkan ekspresi marah.

"Miss Kiki belum masuk?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Pertanyaan apa?"

"Gimana hubungan lo sama kak Mores?" Mendapat pertanyaan itu membuat Senna lantas berlalu dengan decak kesal. Dia malah mendudukkan tubuhnya pada kursi tak peduli dengan Aru yang membuntuti.

"Sen!"

"Iya, Aru?" Senna menjawab dengan nada lirih namun tajam. "Baik-baik aja, Ru ... ya ampun!"

Aru memajukan tubuhnya agar lebih dekat dengan Senna. Ia mengamati mata hitam pekat milik gadis itu dengan lamat-lamat seolah tengah mencari kebohongan di sana. Sialnya mata itu terlalu gelap untuk dia baca.

"Gue enggak bohong, Ru! Bahkan tadi malam dia yang nganter gue ke rumah waktu pulang dari rumah sakit," ucap Senna seolah tahu apa yang ada dipikiran Aru. "Lagian apa urusannya sama elo, sih? Setiap hari kayaknya lo khawatirin hubungan gue sama Mores, deh."

Aru tak menjawab. Kepalanya sibuk merangkai kalimat yang pas untuk memberi pencerahan pada otak Senna yang sudah sesak oleh hal berbau uang.

"Gue mau kasih tahu aja." Cowok berdarah Indonesia-Jepang itu kembali menatap bola mata Senna. "Jangan sia-siakan orang modelan kak Mores. Dia itu langka."

"Tapir kali ah langka!"

"Gue serius, Sen." Hanya dengan begitu, Senna terdiam. Aru dalam mode serius memang sedikit menyeramkan. Mata sipit tapi nggak sipit-sipit amat—yang dipadukan bersama alis lebat dengan lengkungan panjang—mampu membuat seseorang terintimidasi.

"Dia itu tulus, Sen. Dari cara dia memperlakukan lo udah jelas kalau dia sayang banget sama lo, mungkin melebihi sayang dia ke diri sendiri." Aru menerawang pada langit-langit kelas. "Menurut gue, kak Mores itu tipe cowok yang kalau udah cinta jadi bodoh. Dia itu kayaknya mau-mau aja kalau disuruh terjun ke laut."

Different RouteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang