______________________________
Hujan sudah reda saat Natha dan Stephanie memasuki kompleks elit dekat halte bus. Motor sport warna silver melewati rumah yang berjejer rapi di sisi kanan dan kiri, melewati aspal yang masih basah juga polisi tidur yang beberapa kali terlihat.
Keduanya sama-sama bungkam. Merasa bahwa yang sekarang terjadi adalah hal janggal dan aneh. Dua manusia berbeda gender yang selalu ribut di setiap keadaan kini malah duduk di atas motor berdua. Tak pernah terbayangkan bagi keduanya terjebak dalam situasi sial seperti ini.
Natha mematikan motor. Matanya menatap bangunan dengan cat putih tulang berlantai tiga yang berdiri gagah di tengah-tengah rumah minimalis lainnya. Melihat rumah ini mengingatkan pada rumahnya yang dulu.
“Walaupun di mata lo pasti gue terkenal cewek yang nggak bener, tapi gue masih tahu terima kasih. Jadi ... makasih.”
Perkataan Step membuat Natha mengalihkan pandangannya, lalu mengangguk sebagai jawaban.
“Gue nggak niat nawarin lo masuk, jadi sekarang lo bisa pergi.”
Natha terhenyak. Ternyata memang benar, Stephanie tak tahu caranya menghargai. Bilang terima kasih saja sudah tidak ikhlas dan sekarang ia pun diusir begitu saja.
“Gue enggak ada niat numpang minum di rumah lo.” Natha berkata sinis. Sudah kepalang kesal dengan sifat arogan Stephanie. Ia memutuskan untuk menyalakan mesin motornya dan berbalik pergi, namun suara pria menghentikannya.
“Loh Step? Kok temanmu tidak disuruh masuk?”
Stephanie melebarkan matanya sebelum menghambur ke pelukan sang ayah. “Papih kok jam segini udah pulang?” Ia malah balik bertanya, tak menghiraukan pertanyaan ayahnya.
“Om yang handle. Jadi Papih bisa pulang lebih cepat dan melihat putri kesayangannya Papih ini.” Edward mencubit hidung Step hingga memerah, membuat yang dicubit mengerucutkan bibir. “Temanmu itu namanya siapa? Papih sepertinya tidak asing.”
Natha yang mendengar itu langsung mencagak motor sportnya dan beralih menghampiri Edward. “Natha, Om. Temennya Mores,” ucapnya seraya menyalimi tangan Edward.
“Ah ....” Edward tersenyum penuh arti. “Pantas saja saya familiar dengan kamu, ternyata teman Morezho, ya? Cowok yang sampai saat ini tidak tergantikan di hati putri saya.”
“Papih!” Stephanie memberenggut sebal. Edward terbahak, sementara Natha tersenyum kikuk.
“Tadi asisten saya baru saja selesai membuat banyak kue. Mari ke dalam nak Natha. Kita makan bersama.”
“Dia mau pulang, Pih. Nggak perlu.”
“Kok kamu begitu, Nak? Dia sudah berbaik hati mengantarkanmu sampai depan rumah loh, masa kita tidak kasih dia jamuan?” Edward melirik Natha dengan pandangan bersalah, sementara yang ditatap hanya terus tersenyum canggung.
“Terserah Papih aja, lah!” Stephanie sekonyong-konyong melangkah masuk membuat Edward kembali merasa bersalah.
“Mari masuk nak Natha, tidak perlu menghiraukan perkataan putri saya, ya. Dia memang seperti itu, tapi sebenarnya putri saya itu baik banget loh.” Pria berumur enam puluhan itu terkekeh di akhir kalimatnya.
Natha mengangguk dan segera masuk, toh dia juga dari pagi hanya sarapan sedikit, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini walau harga dirinya jadi taruhan. Disela-sela langkahnya, ia terkekeh lantaran tengah menertawakan ucapan ayah Step. Dari sisi mana Stephanie terlihat baik? tanyanya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different Route
Teen FictionBukankah sebuah hubungan harus melibatkan dua jiwa? Yang saling mencinta, memberi perlindungan, memberi kasih sayang, membuat pasangan merasakan "rumah" untuk menetap dengan rasa nyaman. Hubungan Moreszho dengan Senna itu berat sebelah. Perasaan say...