Kedua obsidian hitamnya tidak pernah lepas memperhatikan dari jauh keberadaan putrinya. Duduk di dalam mobil di luar bangunan playgroup dimana putrinya berada.
Mujin ingin masuk, namun ia tahu pihak keamanan tempat itu tidak akan membiarkan orang asing memasukinya begitu saja. Maka pilihan paling aman adalah mengamatinya dari luar.
Meski tidak terlalu dekat, tapi setidaknya kegiatan ini cukup ampuh untuk mengobati kerinduannya pada gadis kecil itu.
Mujin tersenyum tipis melihat putrinya sedang bermain kejar-kejaran bersama teman-temannya. Ia senang karena Ah Reum berinteraksi dengan baik bersama kawan seumurannya.
Dan ketika gadis kecil itu tidak sengaja terjatuh, Mujin langsung keluar dari mobilnya saking khawatir akan keadaan gadis itu. Tapi rupanya putri kecilnya itu kembali bangkit dan bersikap seolah-olah ia baik-baik saja.
“Dia gadis yang kuat.” gumam Mujin tanpa memudarkan senyum bangganya pada sang putri.
Pria itu terlalu sibuk memperhatikan Ah Reum, sehingga tidak menyadari kehadiran So Hee di belakangnya.
Wanita itu sudah menduga jika Mujin akan mencoba untuk bertemu dengan Ah Reum. Namun yang membuat So Hee terkejut adalah cara Mujin yang terkesan tidak memaksa dalam mendekati putri mereka membuat wanita itu lega.
“Hwejang-nim..”
Mujin tersentak saat So Hee tiba-tiba memanggil namanya, lantas ia pun membalikan tubuhnya untuk melihat keberadaan So Hee.
“Aku hanya ingin melihat putri kita, aku tidak mendekatinya.” ujar Mujin takut jika So Hee marah karena tindakannya saat ini.
Namun So Hee menggeleng pelan menandakan jika dirinya tidak keberatan.
“Tidak apa-apa. Aku tidak marah selagi kamu tetap tutup mulut.” balas wanita itu.Sejujurnya ada denyutan nyeri di dada Mujin tatkala wanita itu berkata seperti barusan. Namun ia berusaha untuk memaklumi posisi So Hee saat ini.
“Aku tidak akan mengatakan apapun tanpa seizinmu.” ujar Mujin kembali mendapat anggukkan dari So Hee.
Semilir angin di musim panas berhembus dan menerpa tubuh keduanya. Angin nakal itu menerbangkan beberapa helai rambut So Hee, membuatnya tampak seperti sedang menari-nari dengan bantuan angin.
Mujin kembali terpana untuk kesekian kali, kecantikan wanita itu tidak berubah dan malah meningkat sejak terakhir kali mereka bertemu.
“Sebentar lagi Ah Reum pulang, jadi aku datang untuk menjemputnya.” So Hee mengungkapkan tujuannya datang ke playgroup. Mendengar itu Mujin tiba-tiba berkeinginan untuk mengajak mereka makan ice cream bersama.
Tapi ia ragu untuk mengutarakan isi hatinya.
“Apa putri kita suka ice cream?” tanya Mujin tiba-tiba. So Hee mendongak untuk menatap wajah pria yang masih menjadi pemilik hatinya itu.
“Kalau kamu mengizinkan, aku ingin mengajak kalian untuk makan ice cream.” ungkapnya penuh harap.
So Hee memalingkan wajahnya karena tidak tahan memandangi Mujin dengan penuh kerinduan. Wanita itu lantas mempertimbangkan ajakan dari Mujin dengan seksama, dan karena merasa tidak tega, So Hee pun memutuskan untuk menerima ajakan tersebut.
..
Padahal keduanya bertemu belum ada satu jam, tapi Ah Reum begitu akrab dengan Mujin. Gadis kecil itu memang tipe anak yang pandai bergaul, sehingga tidak sulit bagi Mujin mendapatkan perhatian dari gadis itu.
So Hee memperhatikan keduanya dengan perasaan yang membingungkan. Saat ini Mujin sedang memangku tubuh Ah Reum dan sesekali menyuapi gadis itu es krim vanilla.
So Hee tidak bisa menepis akan kemistri antara Mujin dan Ah Reum sebagai sepasang ayah-anak begitu kuat. Bahkan saat ini hatinya ikut menghangat melihat moment tersebut.
“Ah Reum sangat cantik, persis seperti Ibumu.” ucap Mujin sambil menguyel-uyel pipi gembul putrinya.
“Terima kasih Paman.” kata gadis itu dengan perasaan senang.
Mujin tersenyum tipis mendengarnya, “Boleh tidak kalau paman memelukmu?” tanya Mujin penuh harap dan gadis itu mengangguk setuju.
So Hee memalingkan wajahnya yang berubah sendu, ia hampir menangis melihat Mujin memeluk Ah Reum begitu erat. Sementara itu Mujin merasakan dadanya berdenyut nyeri ditimpa rasa sesal.
Andai dirinya tahu kehamilan So Hee lebih awal, mungkin saat ini Ah Reum memanggilnya dengan sebutan Ayah.
**
“Di mana kamarnya?” tanya Mujin dengan Ah Reum yang tertidur dalam pelukannya.
So Hee lantas menuntun pria itu ke kamar Ah Reum, dan Mujin pun langsung membaringkan tubuh putrinya dengan hati-hati.
Ah Reum sepertinya sangat kelelahan setelah bermain bersama Mujin di taman hiburan. Sehingga saat perjalanan pulang ke rumahnya, gadis itu tertidur.
Mujin mengusap puncak kepala Ah Reum lalu mencium keningnya dan setelah itu ia keluar dari kamar putrinya.
“Di mana suamimu?” tanya Mujin yang mulai merasa heran karena tidak mendapati keberadaan suami So Hee di rumah wanita itu.
So Hee menatap Mujin ragu-ragu, sedangkan pria itu menatapnya dengan raut muka penasaran.
“Dia bekerja di luar kota.” jawabnya berbohong.
Mujin mengangguk paham, jawaban itu sudah lebih cukup untuk menjawab rasa penasaran dalam dirinya.
“Kalau begitu aku permisi dulu.” Mujin berpamitan pada So Hee, namun wanita itu justru menahan tangan Mujin.
So Hee menangis tanpa suara dan membuat pria itu kebingungan, ia tidak bisa lagi menahan sesak di dadanya karena harus berpura-pura tidak lagi memiliki perasaan pada Mujin.
“Kenapa?” tanya Mujin, tangannya begitu gatal ingin sekali menghapus air mata yang mengalir di pipi So Hee.
“Hwejang-nim, sebenarnya aku belum menikah.” ucap So Hee lantang.
Mujin terdiam membisu mendengar pengakuan So Hee. Dan tiba-tiba secuil harapan menyeruak dalam angannya, membuat Mujin berharap akan kesempatan kedua untuk dirinya.
Saat tahu jika wanita yang dicintainya tidak bersuami, Mujin pun dengan berani memeluk So Hee. Ia meraup aroma tubuh wanita itu dengan rakus sarat akan kerinduan yang menggila.
So Hee menangis sejadi-jadinya, pada akhirnya ia kalah dengan cinta yang masih membekas pekat dalam asanya. Ia tidak bisa menahan gejolak kerinduan yang kian menyiksa tatkal ia berusaha menekannya agar tidak timbul.
“Aku tidak bisa menikahi pria lain sementara hatiku masih jadi milikmu.” ungkap So Hee jujur.
Mujin menggila saat mendengar itu, jiwanya yang pada dasarnya dipenuhi oleh bayang-bayang So Hee, membuat pria itu bagai terbang mengitari awan lembut nan ringan.
Sementara itu So Hee yang masih menikmati pelukan hangat sang terkasih, tiba-tiba teringat pada Taeju. Pria baik hati yang selalu berada di sisinya pada saat ia mengalami kesulitan.
Terbayang wajah Taeju yang akan kecewa saat tahu dirinya kembali menyambut perasaan Mujin dengan sukarela.
Taeju sudah banyak berkorban waktu dan materi untuknya, begitu pula dengan banyaknya perhatian yang pria itu pusatkan untuk ia dan Ah Reum. Lantas apakah So Hee akan tega untuk mengabaikan perasaan Taeju demi kisah cintanya yang belum usai bersama Mujin?
“Maka dari itu tolong lepaskan perasaan cintamu untukku agar aku bisa melakukan hal yang sama.” Mujin terkejut mendengar itu, ia melepas tubuh So Hee dan langsung menatap wanita itu.
“Karena aku sudah bertekad untuk memulai hidup yang baru dengan Taeju.” lanjutnya membuat jantung Mujin bagai dihantam sebuah benda keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unmei No Akai Ito [Red String Of Fate]
Fanfic[Choi Mujin Fanfiction] Sequel dari LIAR. "Tidakkah kamu melihat seutas benang merah di jari kelingking kita? Mereka mengikat, membelenggu dan menuntunku padamu. Sejauh mana pun kamu berlari, sekeras apapun kamu menolak, sekuat apapun kamu mencob...