Seorang pria yang lebih muda mengamati Rhaena selama lima belas menit terakhir. Pria itu berambut gelap, berwajah seperti artis, dan memiliki tatapan menusuk yang membuat Rhaena bergidik dan jantungnya berdebar. Rhaena masih tidak paham apa yang membuat pria seperti itu menunjukkan minat kepadanya sementara ada lusinan wanita lain di pesta ini. Wanita yang datang melalui undangan, lengkap dengan gaun dan rok yang berkibar. Wanita-wanita cantik dengan gaya rambut rapi hasil dari salon kecantikan.
Rhaena menunduk menatap pakaian kerjanya. Dia yakin betul tidak ada satu pun yang luar biasa dari pakaiannya jika dibandingkan dengan wanita-wanita di pesta ini. Orang-orang kaya memang berbeda menurut Rhaena. Tapi sebisa mungkin dia ikut membaur dan menikmati pesta layaknya wanita normal pada umumnya.
Pelayan melewatinya, Rhaena dengan gesit mencuri segelas minuman beralkohol dan meneguknya sampai habis. Sisa dingin di gelas merambati permukaan jemarinya. Namun Rhaena tetap merasa panas karena terus-terusan diperhatikan oleh pria di seberang ruangan. Daya tarik seksualnya tergambar jelas dari sorot matanya yang semakin tajam.
Lalu, pria itu berjalan kearahnya. Kesadaran berat berdenyut di pembuluh darahnya, pria itu mengenakan jas bergaya Italia seolah menegaskan kalau dia lahir dari keluarga kaya normal, dan ketika mata pria itu menatap Rhaena, sorotnya tidak mudah terlepas, bahkan gelak tawa keras di sekitar mereka sama sekali tidak membuatnya beralih dari Rhaena.
Dari dekat, Rhaena pun makin yakin kalau pria ini jauh lebih muda ketimbangnya. Meski sorot matanya yang tajam, tidak ada yang bisa menyembunyikan aura masa muda dan gairah yang menggebu-gebu.
Rhaena mencoba kokoh. Tapi kakinya bergerak dengan sendirinya dan pelan-pelan mengambil langkah mundur. Tidak sadar apa yang dibelakangnya, Rhaena malah menubruk segerombolan pria yang tengah mengobrol dan kehilangan keseimbangan.
Rhaena mencoba meraih apapun agar tidak jatuh, tapi nampaknya tidak ada apapun yang bisa dijadikan pegangan. Seketika Rhaena bisa menebak ekspresi bodoh apa yang bakal dia pamerkan setelah jatuh menabrak lantai nantinya.
Rhaena mengerjapkan matanya bersiap menerima nasib, namun sesuatu menahannya. Cengkramannya hangat dan erat tapi tidak menyakitkan. Rhaena membuka mata dan menemukan sosok pria itu menolongnya.
"Maaf, tapi apa kau baik-baik saja?"
Rhaena mengerjap, buru-buru berdiri tegap dan menjawab, "Terimakasih, aku baik-baik saja."
Sesaat Rhaena bilang begitu, tubuhnya kembali kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh lagi. Tapi untuk kedua kalinya pria itu kembali menolongnya. Rhaena pelan-pelan paham kenapa dia jadi susah berdiri tegap begini, terlalu banyak kadar alkohol di tubuhnya malam ini. Kalau diingat-ingat sudah sejak tadi dia merampas gelas-gelas berisi alkohol dari para pelayan yang lalu-lalang.
"Kau perlu duduk, ayo."
Belum sempat Rhaena membalas pria itu sudah menggenggam tangannya lalu menariknya ke sudut ruangan. Disana, sang pria meminta kepada pelayan untuk mengambilkan kursi dan akhirnya membantu Rhaena duduk. Masih tidak paham dengan kejadian yang begitu cepat, Rhaena pun hanya duduk kebingungan.
"Kau sepertinya kebanyakan minum."
"Ah, maaf merepotkan, tapi jujur, aku baik-baik saja, kok."
"Tidak apa-apa. Aku Galih."
Rhaena menatap penuh ragu uluran tangan pria bernama Galih tersebut. Namun sopan-santun merupakan tradisi, mau tidak mau dia harus mengucapkan namanya juga dan sambil dengan berat hati menerima uluran tangan Galih.
"Rhaena. Terimakasih ya, Galih. Tapi aku sudah gak apa-apa kok. Aku kesini bareng pacarku, dia bisa ngurus sisanya jadi gak perlu susah-susah begini."
Ada nada mengusir yang membuat Rhaena tidak enak mengucapkannya secara tersirat begini, tapi dia tidak punya pilihan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rhapsodies
RomanceGalih melihatnya dari kejauhan. Wanita itu nampak rapi dan serba sederhana. Sepatu olahraga hitam, jelas-jelas dipakai untuk alasan kenyamanan. Berbanding terbalik dengan sepatu tinggi para wanita lain di pesta ini. Sesekali nampak kesal sendiri sam...