chapter 5: g i n

115 10 0
                                    


Langit berkabut saat mulai gerimis. Menjelang akhir tahun udara sejuk dari gunung membuat suasana agak dingin. Meskipun angin dingin terus berhembus menerpa kehidupan di kota metropolitan ini, hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangat orang-orang.

Mobil Mona melaju dengan kecepatan luar biasa di jalanan pusat kota. Sedan hitam itu melewati jalanan panjang dan lebar dan terus menuju sebuah perempatan. Jalanan tampak sangat suram di malam hari. Hal itu dipengaruhi oleh hujan gerimis yang turun sejak sore tadi, gerimis ini juga membuat lampu jalan di kedua sisi tampak sedikit redup.

Mobilnya berhenti untuk mengikuti petunjuk lampu lalu lintas kemudian Mona melirik lagi isi pesan di ponselnya dimana sahabat terbaiknya menyanggupi permintaan Mona untuk bermalam di tempatnya.

Mona bisa sedikit bernapas lega saat ini, setelah malam gila yang dia hadapi bersama kakak dan pria palsu semacam Hansen, dia butuh support system yang bisa memahami seluruh masalahnya.

Mona berkendara lagi setengah jam dan akhirnya tiba di area perumahan lalu berhenti di sebuah rumah tua yang elegan. Di depannya nampak sahabatnya, Riza, tengah mendorong pagar agar mobil Mona bisa parkir di halaman depan rumahnya. Mona turun dari mobil dengan langkah lesu kemudian bilang, "Sumpah, malam ini benar-benar menyebalkan."

"Sudah kubilang yang namanya perjodohan gak ada yang bakal berakhir bagus."

Mona tersenyum mendengar hal tersebut kemudian masuk ke dalam rumah Riza. Rumah ini adalah rumah orangtua Riza, setelah lulus dan mulai bekerja Riza sejatinya memutuskan untuk tinggal sendiri di pusat kota di sebuah kos-kosan putri. Namun belakangan keadaan tidak berjalan baik untuknya dan dia butuh kasih sayang orangtuanya sekali lagi.

Keduanya masuk layaknya penyelinap dengan langkah kecil yang sunyi, takut kalau-kalau membangunkan kedua orang tua Riza. Sesampainya mereka di kamar Riza, Mona langsung mengerutkan dahi. Kamar Riza mirip kapal pecah di tengah samudra. Segalanya kacau dan berceceran dimana-mana. Mona sadar kalau ada yang tidak beres.

"Seperti habis perang dunia disini," guyon Mona.

"Ah, maaf, aku lagi kacau barusan dan nggak punya waktu buat beres-beres."

"Tumben," Mona berjalan sambil menghindari pecahan beling, "masih soal Kris?"

Riza tiba-tiba membeku, wajahnya sendu tapi buru-buru dipaksa kaku lagi kemudian menjawab, "Iya. Kita berdua putus."

"HAH?! SERIUS?!"

"Sssttt! Jangan kencang-kencang!"

"Oh iya maaf. Tapi serius kalian berdua putus?"

Riza mengangguk sebagai jawaban.

"Gila sih, aku gak nyangka kalian bakalan putus setelah sudah pacaran lima tahun. Aku kira kalian bakalan nikah dan punya keluarga."

Riza diam sejenak, lalu kembali pelan-pelan merapikan kamarnya. Riza menghela napas panjang memikirkan semuanya sebelum mulai bercerita. Memilah kerangka fakta dan perasaan yang mengaburkan segalanya bikin perasaannya sedikit terenyak.

Mona duduk di kasur Riza kemudian memecah hening, "Kapan kalian putus?"

"Tadi pagi. Dia tiba-tiba ngajak ketemuan dan langsung mutusin tanpa bilang apa-apa lagi. Rasanya kayak selama lima tahun ini hubungan kita nggak ada apa-apanya buat dia. Semua perjuangan selama ini, janji, mimpi, kayak hilang begitu aja."

Mona memutuskan hanya diam dan membiarkan Riza melanjutkan.

"Padahal aku yakin saat kita berdua pacaran kita berada di usia matang dengan orientasi menikah. Tapi gak peduli seberapa sempurna rencana yang kita siapkan kalau sama-sama keras kepala dan gak ada yang mau mengalah sepertinya gak bakal ada yang berhasil diantara kami."

RhapsodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang