Richard bangun dari tidurnya dengan kepala berdenyut yang luar biasa perih. Peningnya semalam berkumpul jadi satu lalu menyerang sekujur tubuhnya tanpa belas kasih. Sambil memegangi sebelah kepalanya, Richard turun dari kasur dan duduk sebentar untuk mengumpulkan kesadarannya.
Matahari datang lagi, suara kendara di jalan raya dibawah sana sudah berdengung dan samar-samar Richard bisa mendengar pembicaraan tetangganya di depan rumah.
Setelah merasa cukup mantap, Richard berdiri lalu menyibakkan tirai hingga menyilaukan mata. Diikuti dengan membuka jendela, Richard menarik napas dalam-dalam berharap itu mampu menghilangkan pusing di kepalanya.
Bermandikan cahaya matahari di pagi hari memang bukan hal yang buruk. Namun tidak peduli seberapa cintanya Richard pada sinaran tropis matahari Indonesia, Richard tetap lebih memilih menghabiskan waktunya di bawah udara dingin New York.
Meski lahir dan besar di Indonesia, Richard menghabiskan seluruh masa dewasanya di Amerika Serikat, tepatnya sejak lulus SMA hingga sekarang. Semenjak itu pula dia tidak pernah kembali ke Indonesia untuk alasan pribadi yang jelas.
Hingga suatu hari kantornya memberikan penawaran yang mustahil Richard tolak. Itu menyangkut promosi jabatan dan bonus besar hingga cukup untuk uang muka satu apartemen mewah di bagian utara Central Park.
Namun satu hal yang membuat Richard sedikit berpikir dua kali adalah dia harus bekerja di Indonesia. Ingatannya tentang masa SMA, bandara keberangkatannya, serta patah hati yang menusuk membuatnya nyaris menolak permintaan itu.
Pada akhirnya Richard menerima tawaran itu dengan hati ketir. Meski pekerjaannya bisa disebut mudah, Richard tidak akan terlalu berharap dengan rekan kerjanya di Indonesia nanti.
Bukannya tidak percaya, hanya saja Richard lebih nyaman untuk bekerja sendirian. Bisa dibilang Richard kurang memahami cara berkomunikasi secara horizontal dimana teman dan rekan merupakan satu kesatuan. Richard hanya memahami bagaimana atasan dan bawahan bekerja sama, sehingga membuat Richard sering kali disalah artikan.
Tapi Richard tidak peduli dengan semua itu. Baginya hasil akhir menjustifikasikan segala usaha dan proses kerja yang ada. Selama hasilnya bagus, tidak peduli bagaimana caranya mereka bekerja, Richard tidak akan peduli soal detail kecil seperti itu.
Richard segera mandi dan bersiap. Pemanas air di kamar mandinya seperti biasa mati lalu gagal memberikan air hangat yang diinginkannya. Setelah selesai, Richard mengeringkan badan, menggunakan kemeja formalnya lalu keluar rumah menuju mobilnya.
"Nak Richard, sudah mau berangkat ke kantor?" seorang ibu-ibu tetangga menyapa Richard dengan hangat.
"Oh, iya, saya pergi dulu, Bu. Mari." Senyuman Richard dibagi kepada gerombolan Ibu-ibu yang mampu membuat mereka terseri-seri.
Richard tiba di kantor pukul 9.
Setibanya disana Richard langsung menuju ruang departemen pemasaran namun seorang seorang wanita berbaju rapi segera menghadangnya lalu bilang;
"Pak Richard?"
"Benar, ada apa?"
"Sebelumnya perkenalkan saya Donna sekretaris pribadi Nona Mona. Saat ini seluruh jajaran anggota dewan direktur telah menunggu anda di ruang konfrensi. Mari Pak, silahkan lewat sini."
Richard merasa sedikit canggung tapi tetap mengikuti sekretaris muda tersebut. Dia sama sekali tidak paham kenapa para dewan mau susah payah menemuinya sepagi ini. Seorang marketing executive dari perusahaan luar, yang sejatinya tugasnya mirip seperti tentara bayaran.
Namun satu hal yang membuat Richard sedikit khawatir adalah bukti bahwa Mona juga akan hadir di rapat tersebut. Seorang CEO perusahaan bahkan meluangkan waktu untuk rapat bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rhapsodies
RomanceGalih melihatnya dari kejauhan. Wanita itu nampak rapi dan serba sederhana. Sepatu olahraga hitam, jelas-jelas dipakai untuk alasan kenyamanan. Berbanding terbalik dengan sepatu tinggi para wanita lain di pesta ini. Sesekali nampak kesal sendiri sam...