Rivan melempar tasnya di sembarang tempat dan merebahkan tubuhnya di kasur. Memikirkan sesuatu tentang teman kelasnya yang dingin dan jutek. Sebelumnya tidak ada yang menolaknya, bahkan secuek apapun sifat cewek itu. Namun berbeda dengan Retta, ia tidak mudah untuk di dekati.
Susah banget.
"Cantik sih, tapi jutek. Tapi cantik banget, kalau jutek kan kesel. Coba dulu deh, siapa tau luluh sama gue." kata Rivan sambil membayangkan wajah dan sikap Retta.
Sedangkan disisi lain, Retta masih asik dengan bola basketnya. Sudah hampir dua jam cewek itu bermain, sesekali ia berhenti hanya untuk meneguk sebotol air mineral. Matanya teralih kepada seorang satpam datang mendekat ke arahnya.
"Neng, pulang neng, udah sore." perintahnya.
"Biasanya sampai mau maghrib saya masih disini kok, kenapa malah suruh pulang?" tanya Retta.
"Ya jangan dibiasain lah neng, masa anak cewek jam segini masih disini, sendirian lagi."
Tanpa menjawab, Retta langsung mengambil tasnya dan meninggalkan satpam itu sendirian di lapangan basket. Ia tidak ingin berdebat terlalu panjang dan lama, itu sangat mengganggunya.
Retta merogoh saku jaketnya, mencari kunci motor untuk segera pulang. Ia tersadar, bahwa ada sesuatu yang hilang dari tasnya setelah tau, kalau resleting tasnya terbuka. Retta sangat bingung, benda itu memang hilang dan tak tahu sekarang ada dimana. Tanpa berfikir panjang, akhirnya ia kembali masuk ke dalam sekolah dan mencari flashdisknya yang hilang atau entah kemana.
"Loh neng, kok masuk lagi?" tanya satpam tadi yang sudah ada di pos satpam belakang gerbang.
"Barang saya ada yang ketinggalan," jawabnya tergopoh gopoh.
"Aduh besok aja neng, nanti saya dimarahin sama kepala sekolah. Jam segini udah gak boleh ada siswa yang masih disini,"
"Sialan!" umpatnya sambil pergi dari hadapan satpam tersebut.
Matanya sedikit memerah, ditambah lagi dengan angin yang masuk ke dalam matanya. Ia melajukan motornya itu dengan kecepatan tinggi, berharap untuk segera pulang dan mengistirahatkan diri.
Setelah sampai dirumahnya, Retta melihat mobil di depan rumahnya. Ia tahu, itu mobil Papanya.
Langkahnya perlahan masuk ke dalam rumah, dan mendengar begitu kerasnya pertengkaran yang tidak pernah ingin ia lihat. Retta menyembunyikan dirinya di balik pintu, merangkul keras kedua lututnya dan meneteskan air mata. Ini adalah saat saat yang membuat Retta lemah, bahkan untuk membela Mamanya saja ia tidak mampu.
Cewek itu merasakan pergelangan tangannya seperti ada yang memegang, ia mendongak dan mendapati Papanya yang menyuruhnya untuk berdiri.
"Retta, kamu ikut Papa." ajaknya dengan nada terburu buru.
"Aku nggak mau." jawabnya tegas.
"Kamu gak akan hidup bahagia kalau tinggal sama Mama kamu! Nanti kamu susah,"
"Bukankah lebih baik seperti itu Pa?" tanya Retta yang berhasil membuat Papanya terdiam. "Aku lebih baik hidup seperti ini sama Mama, daripada harus hidup sama Papa yang membiarkan Mama menderita, dan berselingkuh dengan wanita murahan itu!"
Plakkk.
Sebuah tamparan keras mengenai pipi cewek itu dan menciptakan air mata yang sempat terhenti sejenak dan mengalir kembali. Retta hanya memegang pipinya itu, merasakan betapa sakit hatinya."Jaga omongan kamu sama orang tua!" sentak Ayah Retta.
"Tidak ada ucapan yang harus dijaga ketika berbicara dengan anda." jawabnya datar dan tajam. "Pergi dari sini, pergi! Jangan menginjakaan kaki anda lagi disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
You and My Diary
Teen Fiction"Perasaan bisa berubah sewaktu waktu Van, jadi lo gak perlu susah susah buat ngejar gue yang belum tentu cinta sama lo juga." jawab Retta yang masih dalam pandangannya. "Gue bukan Sena." kata Rivan merendah dan membuat Retta membalikkan badan. "Gue...