[Cerita ini hanya fiksi]PADA akhirnya hari dimana Grizela harus meninggalkan kamarnya telah tiba.
Tak pernah terbayangkan ia akan berpisah dengan rumah tersebut, tempat ia tumbuh dan merasakan kasih sayang dari orang tuanya.
Grizela berdiri terdiam di tengah-tengah kamar, memandangi sekeliling isi kamarnya yang masih berhias dengan segala sesuatu kesukaannya.
Ada foto seorang lelaki bertelanjang dada kesukannya terpasang tepat di atas tempat tidur, foto tersehut berukuran besar membuatnya selalu menjadi objek fokus pertama ketika masuk. Beberapa penghargaan yang dulu dimenangkan Grizela juya ikut digantung di dinding-dinding kamar untuk menjadi kenangan.
Dan terakhir pandangan Grizela jatuh pada foto kecil dirinya yang berada pada gendongan sang ibu sedangkan Grivin kecil tampak berada pada gendongan sang ayah.
Keempatnya terlihat bahagia di dalam foto itu, terlihat seperti keluarga harmonis yang akan selalu kekal.
Usia Grizela dan Grivin hanya berbeda dua tahun saja, jadi banyak yang sering mengira mereka ini adalah sepasang kembaran.
Grizela seolah melupakan waktu yang tidak bisa berhenti, kecuali dia masuk ke dalam dunia ajaib dimana ada alat yang dapat menghentikan waktu
Ia terlarut dalam diam memperhatikan secara seksama, mengingat tiap detail dari bagian kecil kamarnya agar tersimpan menjadi memori yang dapat selalu dikenang.
Hingga suatu suara menyebutkan namanya berhasil membuat Grizela tersentak pelan menghadap ke arah pintu.
"Grizela," panggil Grivin berdiri di depan pintu kamar Grizela.
"Kak Grivy," ucap Grizela memandang Grivin yang datang menjemputnya di kamar.
"Aku kelamaan ya," tawa Grizela secara pelan tidak menyadari waktu berjalan dan malah menghabiskan terlalu banyak waktu memandangi tiap inci kamar untuk dijadikan kenangan.
Grivin tersenyum sembari melangkah masuk ke dalam kamar Grizela, ia menjatuhkan lengan kanannya tepat di atas bahu sang adik.
"Awalnya memang berat, apalagi ini pertama kalinya kamu keluar dan tinggal selain di rumah ini."
Grivin memang telah lama tidak tinggal menetap di rumah berbentuk istana itu, waktunya kebanyakan dihabiskan di kampus dan di apartemen miliknya.
Grizela mendecak mendengar penuturan Grivin yang baru saja dilontarkan.
"Salah Kakak sih, Aku kan dulu ingin tinggal bersama Cammeron. Tapi Kakak tidak pernah mengizinkan," cetus Grizela kemudian berjalan pergi menarik kopernya. Masih selalu merasakan kesal jika mengingat pertentangan Grivin terhadap kemauannya yang ingin merasakan hidup mandiri juga.
Grivin lantas memutar bola matanya malas, Grizela itu keras kepalanya turunan ayah mereka. Setiap ada keinginannya pasti ingin selalu dipenuhi meskipun sikap keras Grivin selalu berdampak padanya, tetapi kecerdikan Grizela juga selalu membuatnya berhasil meloloskan diri.
"Aku tidak bisa mempercayai siapapun, apalagi itu kamu sendiri. Sulit untuk menaruh kepercayaan pada kamu Grizela," balas Grivin. Segera menggantikan Grizela menarik kopernya.
Menaruh kepercayaan kepada Grizela maka siap-siap saja merasakan dahsyatnya sakit hati. Perempuan itu sudah sering sekali mengelabui Grivin, maka jangan pertanyakan mengapa Grivin sangat keras terhadapnya.
"Dan sekarang kamu akan tinggal bersamaku, jadi aman saja kan," lanjutkan Grivin tersenyum tipis.
"Aku sudah dewasa, Kak, bukan lagi remaja 17 tahun yang harus menuruti segala bentuk peraturan yang Kakak buat!"
"Mama sama Papa tidak ada, sudah menjadi tugas Ku untuk mengatur kamu Grizela." balas Grivin sama tidak mau mengalahnya.
"Aku mau tinggal di unit apart sendiri," ucap Grizela berjalan cepat mendahului Grivin.
"Apart Aku punya tiga kamar, lebih dari cukup buat kita berdua."
"Privasi Kak!"
"Privasi apa, kamu adik Kakak!"
"Oh My God!" frustasi Grizela mengacak rambutnya. Berhenti dan menghentak kaki beberapa kali sebagai pelampiasan amarah kepada Grivin.
"Jangan mengumpat!" peringati Grivin melihat Grizela yang telah membentuk bibir menggerutu bersiap mengucapkan segala bentuk umpatannya.
"Argghhh!" kesal Grizela masih tak bisa melawan Grivin. Mulutnya kembali dikunci dan mengucapkan umpatannya di dalam hati sendiri.
"Kamu itu adik Kakak, seberapa tua pun kamu akan tetap jadi seorang adik buat Aku."
Grizela mendecak kesal, namun tak urung merasakan tersentuh akibat ucapan Grivin yang seolah bermakna akan selalu mengistimewakannya secara sama.
"Aku setuju tinggal di apart yang sama, tapi Aku mau ada perubahan jam malam," cetus Grizela memikirkan ide lain untuk kebebasannya.
"Jam 10 itu sudah maksimal," balas Grivin mengernyit heran.
"Jam 12," ucap Grizela menatap Grivin penuh pengharapan.
"Apa yang ingin kamu lakukan di luar sampai jam 12?" heran Grivin berhenti melangkah membuat Grizela ikut terhenti.
"Clubbing!"
"Oke," angguk Grivin menyetujui dan hampir membuat Grizela bersorak kesenangan sebelum ujaran Grivin selanjutnya berhasil membuatnya patah.
"Kalau sama Aku!"
"Grivy!!" teriak Grizela mencak-mencak kekesalan."Im older now!!"
"Yash, but you always younger than me!"
"Fuck!" umpat Grizela membuat Grivin terngaga."Grizela!"
"I don't care, Aku akan lakuin sesuka Aku. Aku udah 18!""Eighteen!"
Grivin mendesah kasar mendengarkan teriakan Grizela, adiknya mulai menemui waktu dewasa. Ia benar-benar semakin sulit dikendalikan, rasanya Grivin terus memikirkan masa depan.
Ia menolak memiliki anak perempuan, ia menjadi trust issue membesarkan seorang anak perempuan.
𝐑𝐀𝐋𝐈𝐀𝐍
KAMU SEDANG MEMBACA
Shake It
Teen FictionHe Fell First and He Fell Harder Grizela menjadi anak yang senang melanggar peraturan karena ingin mendapatkan perhatian selain dari kakaknya saja. Aturan dan aturan selalu menyertai dalam hidup Grizela. Sosok Maven Mcester bukanlah lelak...