1. Soal Ajakan

532 60 0
                                    

Hari ini Minggu Pagi Giana di kediaman keluarga Wiyasa. Bukan hal yang asing, malah menjadi asing jika hari penghujung pekan itu tanpa kehadiran Giana. Setiap minggu pagi saat matahari masih mengintip malu untuk membuka hari, Giana sudah berjalan bersama Nyonya rumah Wiyasa menuju pasar dekat Komplek perumahan.

Lalu Giana akan menghabiskan seharian waktu liburnya bersama dengan keluarga Wiyasa yang merupakan tetangga persis sebelah rumahnya.

Bukan tanpa alasan, Giana hidup seorang diri di kota ini. Ibunya meninggal sekitar 5 tahun lalu, dan Ayahnya yang kelewat cinta dengan Ibunya menyusul sang Ibu setahun berikutnya. Ibu dan Bunda -panggilan Nyonya Rumah Wiyasa- berteman akrab, kemalangan yang menimpa Giana tentu menjadi perhatian lebih bagi Bunda.

Giana memiliki seorang kakak laki-laki yang memboyong istrinya ke luar negeri untuk menetap disana karena alasan pekerjaan. Keluarga Giana yang lain tinggal jauh di luar kota, dan memutuskan untuk menetap di rumah orang tua adalah pilihan tepat karena Giana juga sudah bekerja di kota ini.

Hal ini membuat keluarga Wiyasa ketambahan satu putri yang tinggal di sebelah rumah.

Giana tengah menata meja makan bulat yang kini memiliki 5 kursi, karena sebelumnya hanya berisi 4 kursi sesuai jumlah keluarga Wiyasa. Semenjak kesendirian Giana, kursi utama meja makan jadi bertambah 1.

Langkah tenang Mahadi menuruni tangga menjadi perhatian Bunda yang sibuk mengaduk Sop untuk sarapan keluarga mereka.

"Adekmu mana Mas?"

"Masih mandi," Mahadi mendekati sang Bunda, hanya berdiam diri, tidak melakukan apa pun. Hal yang biasa Ia lakukan, memperhatikan masakan Bunda yang tengah diaduk, dan dicicip untuk menyesuaikan rasa.

"Misi Mas," tubuh Mahadi mendekat ke dinding setelah mendengar teguran Giana. Wilayah dapur memang terbilang sempit dibanding ruang lainnya. Keberadaan Mahadi yang tentu tidak kecil cukup mengganggu mobilitas Giana yang harus bolak-balik menata meja makan.

Adi -nama panggilan Mahadi- dan Giana adalah teman sebaya. Adi lebih tua 6 bulan dibanding Giana. Mereka tumbuh dan besar di lingkungan yang sama, bahkan lulus dari sekolah yang sama. Kenal sejak baru bisa mengucap bahas bayi.

Dikatakan berteman dekat-pun tidak, mereka jarang mengobrol kecuali memang diperlukan. Namun tidak ada kecanggungan diantara keduanya.

Alasan Giana memanggil Adi dengan sebutan Mas hanya karena Ia terbiasa sejak kecil dimana Ibu dan Bundanya membiasakan Giana kecil untuk memanggil laki-laki yang hanya 6 bulan lahir lebih cepat dibanding dirinya itu dengan sebutan Mas.

Giana sibuk sendiri, menuang tempe goreng yang sudah ditiriskan untuk ditaruh ke piring saji. Geraknya cekatan, terbiasa dengan Bunda yang kerja cepat. Ia sibuk sendiri dan tidak menyadari dengan mata Adi yang terus mengikuti tiap gerak dan langkah tubuhnya.

Giana mungkin tidak menyadarinya, tapi tidak dengan Bunda yang melahirkan dan mengetahui dengan jelas segala gerak-gerik putra sulungnya.

"Ngeliatin apa Mas?" Bunda mematikan kompor setelah sup ayam buatannya mendidih. Adi yang semula menitik fokus pada Giana yang sudah kembali sibuk menata meja makan, kini menatap Bunda.

"Kalo Giana jadi mantu Bunda, Bunda mau enggak?"

Nada bicaranya kelewat enteng untuk membahas materi seberat meminang anak gadis orang. Bunda mengerutkan dahi kemudian menatap putra sulungnya penuh selidik.

Namun tidak tampak raut ragu sedikit pun di wajah putra sulungnya.

"Tanya aja anaknya, mau jadi mantu Bunda enggak?"

Kali ini Adi yang mengerutkan dahi. Semudah itu?

Dari beberapa deret gadis yang Adi bawa menemui sang Bunda, tidak pernah ada restu dari Bunda. Entah asal usul, cara bicara, tindak-tanduk, rasanya semua gadis yang Adi bawa selalu di bawah standar sang Bunda.

5 Langkah Dari Rumah | MarkSelle ver [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang