3. Soal Yakin

310 57 0
                                    

"Buka pintu rumah ya Mas, Bunda di halaman."

Itu adalah peringatan dari Bunda. Hari ini adalah Sabtu siang yang dijanjikan Giana sebagai jawaban ajakannya tempo hari ini. Katanya harus ada yang dibicarakan lebih lanjut tentang keyakinan mereka untuk hidup bersama.

Giana tidak berniat mempermainkan makna pernikahan yang sudah berjanji di hadapan Tuhan jika suatu saat nanti timbul masalah dan berujung pada perpisahan. Ada baiknya tetap ada pembahasan masa depan jangka panjang, karena setidaknya akan ada sedikit gambaran, meski kita tidak pernah tahu tentang masa depan.

Awalnya mereka berniat berbicara di luar, namun hal ini tentu akan mengurangi keintiman pembicaraan mereka, entah gangguan pelayan -jika mereka bicara di restoran- atau manusia lalu lalang jika mereka mengisi salah satu tempat ramai.

Maka rumah Giana menjadi pilihan. Rumah keluarga Wiyasa hari ini ramai dengan teman-teman Ayu yang berkunjung.

Maka Bunda mengizinkan mereka untuk bicara berdua, dengan catatan mereka membuka pintu dan bicara di ruang tamu, sementara Bunda ada di halaman rumah.

"Masuk, Mas."

Giana berada di rumah keluarga Wiyasa adalah hal yang sangat lumrah, namun keberadaan Adi di rumah Giana adalah hal yang sangat jarang ditemui. Tentu karena Adi adalah laki-laki dan Giana tidak bisa sembarang menerima Adi ke dalam rumah jika bukan hal yang mendesak.

"Kamu udah makan, Mas?"

"Kamu masak?"

"Iya, khusus buat Mas Adi. Bikin Ayam mentega aja sih, mau?"

Adi mengulum senyum. Bukan hanya dia yang berusaha dalam hubungan ini, namun juga Giana yang berusaha mengimpresi Adi.

"Boleh," Adi mengangguk, kemudian duduk di kursi tamu, membiarkan Giana berjalan menuju dapur rumahnya.

Tak lama Giana kembali dengan piring saji berisi hasil masakannya dan sepiring nasi dengan porsi kecil.

Giana kelewat paham jika Bunda tidak mungkin tidak masak, dan Mas Adi pantang untuk tidak memakan masakan Bundanya, Giana juga tidak bicara apa pun pada Bunda jika Ia ingin memasakkan Adi makanan, jadi Giana membuatkan porsi untuk sekedar dicicip, bukan untuk mengenyangkan perut.

"Cobain, Mas."

Adi menurut, memasukkan makanan yang disajikan, tak lama senyum mengembang.

"Enak, selalu."

Seharusnya Adi tidak terkejut. Giana sudah sering membantu Bunda di dapur rumahnya, jelas gadis itu bisa masak. Namun ucapan awal Giana yang mengatakan jika masakan itu dikhususkan untuknya rasanya sangat berbeda. Seperti ada yang menggelitik perutnya tiap Ia memasukkan masakan Giana ke dalam mulutnya.

Makanan itu habis sempurna, Adi seakan lupa jika Ia baru saja makan masakan Bundanya sebelum bertandang ke rumah Giana.

"Jadi?"

Mereka duduk berhadapan. Baik Adi dan Giana sama-sama menutup ponsel mereka dengan posisi layar dibawah. Mereka tidak ingin terdistraksi.

"Giana mulai duluan, boleh?"

Adi tersenyum, mengangguk, sesaat menutup mata dan menggerakkan alis, tanda menyetujui permintaan Giana.

"Soal alasan Mas ke aku, aku udah cukup paham, dan aku bisa terima. Benar juga kata Mas, kita sudah cukup mapan dari segi usia dan finansial, sedikit banyak Aku tahu juga dari Bunda yang selalu cerita tentang Mas Adi, juga Mas yang tahu kondisiku gimana."

Adi memilih diam, membiarkan Giana melanjutkan kalimatnya.

"Meski Mas ngerasa kita udah cocok, tapi tentu selama ini kita kasih batasan satu sama lain karena status kita enggak bisa membiarkan kita segamblang itu nunjukin diri kita masing-masing, kalau ke depannya ada hal-hal yang Mas rasa enggak cocok antara aku sama Mas, gimana?"

Adi tersenyum.

"Mas rasa paling penting pemahaman, ketidak-cocokan bisa kita bicarakan, tapi buat Mas yang paling penting ya pemahamannya, percuma bicara kalau enggak ada saling pengertian. Hal ini bisa kita komunikasiin selagi itu bukan hal yang berurusan soal prinsip soal hubungan dan agama."

Giana kini tersenyum, cukup puas dengan penjelasan Adi, karena jawaban Adi hampir serupa dengan dirinya.

"Menikah berarti kita menyatu, Waktu, kesukaan, segala milik Mas akan dibagi ke aku, bisa dibilang, akan sangat sedikit waktu buat sendiri, begitu juga aku. Menurut Mas gimana?"

"Sebetulnya kalau dikalkulasiin, kita juga sering bareng hampir setiap hari, bisa dibilang, Mas terbiasa sama keberadaan kamu dan malah asing kalau enggak ada kamu, tapi tetap kita pasti butuh waktu buat menyendiri, dan Mas sangat terbuka kalau suatu waktu kita butuh waktu masing-masing selagi dikomunikasiin dan saling kasih kabar sebelum menyendiri itu."

Perihal cinta, Giana ingin mempertanyakannya. Namun Ia belum berani, karena sejak awal pun Adi secara jujur mengatakan Ia akan mencintai Giana, kalimat masa depan, bukan sudah terjadi atau sedang terjadi.

Adi menyesap air mineral di gelas, ternyata pembicaraan serius seperti ini cukup menguras energi. Sangat jarang sekali Ia dan Giana duduk berdua dan membicarakan masa depan, mereka biasanya bertanya perihal keseharian atau cerita-cerita konyol dan janggal yang layak disampaikan.

"Mas mau punya anak?"

Adi tersedak air mineral. Giana terkekeh.

"Jangka panjang, Mas. Aku enggak ngajak Mas bikin sekarang," Giana kini tertawa menggoda.

"Guyonmu ki loh! Bunda denger, Mas yang di amuk!"

"Tapi aku nanya serius Mas, kita mau berkeluarga loh! Bukan cuma nge-date."

"Punya anak Mas rasa adalah karunia karena Tuhan mempercayakan kita buat merawat mereka."

"Kalau ternyata kita enggak dikaruniai anak?"

"Mas nikah sama kamu karena mau kamu, bukan karena mau jadiin kamu pabrik pembuatan anak."

Semu merah timbul di pipi Giana. Tidakkan Adi menyadari betapa semangatnya Ia mengucapkan bahwa Ia 'mau' Giana?

Giana tak kuasa menahan tawa karena tersipu malu.

"Restuku sekarang ada di Abang, Mas mau ke Malaysia untuk minta restu?"

Adi mengerjapkan matanya perlahan berkali-kali. Apakah sesi tanya jawabnya telah usai?

Sedikit banyak, Bunda memberikan bocoran jika Giana adalah orang yang terencana dan kritis. Dibantu Ayu yang lebih update, Adi mengetahui pertanyaan-pertanyaan pra-nikah yang mungkin ditanyakan oleh Giana.

Namun mungkin Adi terlampau gugup, karena pertanyaan lain tentang keluarga, tentang sudut pandang, tentang prinsip dasar sudah mereka saling ketahui. Giana hanya ingin mengetahui apa yang belum Ia ketahui.

"Kamu mau nikah sama aku?"

Giana tersipu. "Dengan restu Abang."

Adi tak bisa menahan senyum dan gejolak di dada. Rasanya seperti memenangkan lotre.

Matanya melirik ke arah luar jendela.

"Mas mau peluk kamu, tapi Bunda matanya melotot kayak Suzana."

"Hush! Mas! Bundamu itu!"

"Bunda kamu juga kan?"

5 Langkah Dari Rumah | MarkSelle ver [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang