Jullie tengah mematikan kran ketika putra bungsunya memasuki unit apartemen yang terletak di lantai lima itu. Beberapa piring berisi kudapan-kudapan manis terletak diatasnya. Macaron favorit Tegar salah satunya.
"Banyak banget Ma?"
"Sengaja aja tadi jalan-jalan eh Mama kalap, udah kamu makan aja jangan minum obat terus"
Tegar menarik bibirnya membuat senyuman lalu bergerak memeluk wanita yang menyandang marga Verdi tersebut.
Jullie memang lahir dan besar di Indonesia, nama Verdi diberikan karena ayahnya—yang berwajah lokal—memiliki darah Italia. Jullie meneruskan bisnis butik milik Neneknya, dahulu Ibu Jullie pernah mengambil alih butik itu namun kecintaannya pada memasak lebih besar dari pada harus menggambar orang dengan dagu lancip dan badan yang kelewat jenjang dalam buku sketsanya, jadilah ibu Jullie membuat usaha restoran Italia yang sukses menyabet banyak pelanggan. Tiga tahun setelah kematian Neneknya, Jullie selalu dibawa oleh Ibunya ke butik, mengajarinya menggambar, mewarna, dan memilih bahan kain yang premium.
"How Paris feels?" Jullie bertanya, tangannya menepuk-nepuk punggung putranya.
"Comfortable, safe place, and love maybe?"
"Love?" Jullie melepaskan pelukannya, menatap Tegar penuh harap "you find your love? who her, lets talk about it" imbuh Jullie.
"Tegar belum sepenuhnya punya perasaan ke dia sih Ma, cuma kaya. Im always looking for her, and everything about her is always make me intersesting"
"Kamu bakal jatuh cinta sama dia Gar, percaya deh sama mama"
"Dengan kondisi Tegar yang seperti ini?"
Jullie menghela napasnya perlahan, beberapa detik setelahnya hanya ada suara desis pendingin ruangan yang terdengar. Hingga Tegar kembali bersuara.
"Gak bisa ya ma?"
"Harus gerak cepat, sayang"
Kalimat yang diungkapkan oleh Jullie tadi tak sepenuhnya membangkitkan semangat putra bungsu nya. Lima tahun silam Ezra Abraham menderita penyakit yang sama seperti putranya. Sebulan sebelum Ezra pergi kondisinya sudah membaik, hingga tiba-tiba saja ia mual yang tak kunjung menemui titik akhir. Ayahnya dahulu berkata, pergi ke pantai saat matahari terbenam lalu lihatlah cahaya hijau. Dua bulan setelah kepergiannya, Tegar selalu mengemudi jauh—pergi ke berbagai pantai untuk melihat cahaya hijau namun nihil ia tak menemukan apa-apa. Larut malam ia setia duduk dihamparan pasir, sesekali membiarkan pasir-pasir pantai memeluk kakinya dengan tangan menggengam satu botol gin. Sampai ia ditemukan tidak sadarkan diri di bibir pantai, jari-jemarinya keriput sebab terhantam oleh air asin. Hari itu setelah banyak proses di rumah sakit Tegar mengidap gagal ginjal, persis seperti ayahnya dahulu.
"Kamu anak mama yang paling keren, paling semangat, paling sabar dan paling-paling lainnya, kejar terus cewe itu ya gar"
Tergar mengangguk, matanya tertuju pada tumpukan macaron yang menggiurkan itu alhasil ia menyomot satu buah dan segera melahapnya.
"Mama tidur dulu ya, capek" Julie beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kamar tamu.
Tegar tetap pada posisinya, dan segaja mengunyah macaron nya dengan perlahan. Tekstur macaron yang krispi sekaligus lembut dengan creamcheese dan selai blueberry berpadu pada mulutnya—membuatnya sejenak lupa akan sakit yang diderita.
Setelah menghabiskan satu buah macaron yang setara dengan kenikmatan surgawi, ia berjalan pada sudut ruangan, mengambil dan memainkan sebuah vinyl berisi lagu jadul yang sering diputar oleh ayah nya dulu. Sebuah nada terdengar, Tegar mengalunkan tangannya mengikuti tempo dan mengambil apron yang biasa ia gunakan ketika melukis, sejenak ia menatap pada lukisan pantai dengan semburat hijau yang ia ciptakan. Berharap dia akan melihat semburat itu nantinya—bila sudah waktunya.
꧁✧꧂
Entah ini sudah keberapa kalinya, namun Tia tak akan bosan mengambil satu bungkus bubur instan yang dikirim dari kakaknya beberapa waktu yang lalu. Wanita itu mengambil termos air panas dan menuangkannya pada mangkok ayam jago miliknya.
Kepulan uap panas mengenai paras cantik Tia, seketika wajahnya terasa lembab dan hangat.
Beberapa menit kemudian semangkuk porsi bubur itu kandas tak bersisa ditemani oleh series Edward Cullen si vampire kesayangannya.
Kantuk mulai mengambil seluruh kesadaran Tia hingga akhirnya ia terlelap dalam alam bawah sadarnya tanpa beranjak dari sofa.
꧁✧꧂
Kepulan asap di hadapan Tia mulai mengganggu pengelihatannya. Ia mematikan puntung rokok yang baru seperempat ia hisap di asbak yang tergeletak di meja kecil sebelah kirinya. Lelaki disamping Tia menggangguk mengerti, jika gadis disampingnya mulai tidak nyaman dengan kepulan asap yang mengelilingi mereka berdua.
Disebrang jendela besar, Tia dan Tegar membaca buku. Langit jingga sore ini menjadi teman mereka. Keduanya dirundung oleh hening sampai ketika Tegar sampai pada epilog bukunya. Seperti pada buku umumnya, sang lelaki akan menyatakan perasaannya pada bab itu.
Tegar menoleh, menghelai surai milik Tia. "Prettiest girl that i know."
"What?" Tia menoleh, ia sedikit tertawa.
"Its 5 p.m shall we dance with that view?"
"You asked me for a dance, but where the music?"
"Give me a second"
Setelah Tegar menugtak-atik Alunan lagu-lagu klasik dari Disney memenuhi ruangan.
"Gue ga lancar Gar" bisik Tia ketika Tegar meraih tangannya.
"So now, you have a dance tutor, right?"
Tia menelungkupkan wajahnya pada dada bidang Tegar untuk menyembunyikan rona merah yang menyebar pada wajahnya.
"HAH?!" Tia terbangun dari tidur siangnya series vampire yang ditontonnya melalui tablet sudah melampaui dua episode tanpa ia tonton. Kini Tia mengucek-ucek matanya dan berusaha menerka mimpi apa tadi?
꧁✧꧂
HORE UPDATE!!!!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
THIRD COUNTRY
FanfictionTegar Revalentio, jika ia merasa suatu hari dalam hidupnya harus diabadikan, dikenang, diingat ia akan melukis atau membuat sketsa. Sama halnya dengan seorang gadis bernama Septia Amaranggana yang Tegar kenal saat mereka sedang bersantai di taman Lu...