A for Aruna

56 7 9
                                    


Hey, ini bukan hidup yang selalu indah dan bahagia. Ibuku mengajarkan untuk menerima apapun yang terjadi pada diri kita, baik kesalahan orang lain terhadap kita, maupun kesalahan kita terhadap diri sendiri. Tapi, apa iya? Diri kita bisa terus memaafkan semua kesalahan? Meski di nasehati tak boleh memiliki dendam, apa dendam itu benar-benar akan pergi dan hilang? Tak semua harus hilang. Adakala kita menentang bukan? Maafkan aku ibu.

Aku adalah Aruna maurin sekala, seorang gadis yang hidup bersama nenek nya sedari kecil. Kenapa aku membahas tentang dendam? Aku tak terima dengan takdir yang menimpa kedua orang tuaku. Bisakah aku meminta agar mereka kembali, pada tuhan, bisakah semuanya tak terjadi seperti ini. Di dunia penuh dengan kemunafikan dan cerita palsu yang mereka buat ini begitu pengap. Seolah hawanya terisi oleh dosa-dosa mereka.

Aku bahkan tak mengerti lagi pada manusia kejam dan tak berperasaan. Mereka hanya memikirkan kekuasaan dan tahta. Kerajaan maurin harus di ambil alih karena kedua orang tuaku meninggal, dan aku terpaksa mengganti namaku menjadi Runa tanpa ada embel-embel nama kerajaan dan nama ayahku, sekala.

Tanganku terkepal saat mengingat cerita yang begitu memilukan terjadi pada orang tuaku. Tepat di depan mataku, mereka menghabisi kedua orang tuaku dengan kejam! Iblis yang bersarang di tubuh mereka menguasai mereka sepenuhnya. Dapay ku lihat aura hitam menguar saat dia menyerang ibu dan ayah membabi buta.

Air bening dari pelupuk ini tak bisa kutahan lagi, rasanya semua sesak ingin keluar dari lubuk. Hingga, mataku menajam menatap ke arah bangunan yang begitu megah berdiri dengan bendera yang awalnya biru tua bergambar bulan diganti dengan bendera hitam dengan gambar petir.

"Aku akan membalaskan dendam kalian, ayah ibu. Aku akan mengganti kembali bendera penuh iblis itu dengan bendera kita. Aku tak ingin melihat rakyat yang dulunya senang menjadi menderita."

Kuku ku mencengkram kusen jendela, aku tak menghiraukan sakitnya. Ini tak seberapa dengan sakit di dada ku.

"Esmeralda, tunggu lima tahun lagi. Aku akan menyempurnakan kekuatanku."

Puk.

Aku kaget tat kala nenekku menepuk pundak. Dengan spontan aku pun tersenyum pada wanita yang telah merawat ku setelah kepergian dua orang yang sangat ku sayangi.

"Nek, ada apa?" Tanyaku.

"Ini sudah malam, kamu belum tidur?" Tanya nenek.

"Sebentar lagi aku akan tidur. Nenek tidur saja duluan," kataku lagi. Tapi nenek malah menatapku dengan dalam.

"Matamu sembab, kamu habis menangis lagi?"

Aku tersenyum, karena pada akhirnya nenek akan tau apa yang ku sembunyikan.

"Sudah, lupakan apa yang membuat mu sakit. Jangan di ingat lagi karena itu akan menyiksa dirimu, aruna."

Aku menghela nafasku, "nek, tak ada luka dalam yang sembuh dengan cepat. Apalagi jika luka itu terus tergores, apa nenek bisa mengobatinya?" Perkataanku seolah menohok hati nenek.

"Mereka telah merampas kebahagiaan ku, andai saja waktu itu mereka melihatku dan nenek. Mungkin sekarang, kita berada di dunia yang sama dengan ayah dan ibu."

Nenek memelukku, mengelus punggungku. "Ingat apa kata ibumu, sehari sebelum dia pergi. Jangan menaruh dendam pada siapapun, Aruna."

"Panggil aku Runa nek, nanti nenek keceplosan memanggil ku Aruna di depan banyak orang," kataku dan nenek melepaskan pelukannya dan beralih mengusap pipi.

"Nenek tau apa yang kau rasakan, karena nenek juga merasa kehilangan. Ayahmu adalah anak nenek satu-satu nya, dia anak kesayangan nenek. Nenek sangat terpukul jika kau malah bersedih dan mengingatkan nenek pada mereka, sayang. Nenek mohon, jangan berbuat gegabah demi kehidupan kamu. Biarkan waktu yang mengatur semuanya, karena tuhan pun tak akan diam," kata nenek menasihatiku. Tapi sepertinya dendamku tak akan hilang dengan nasihat itu.

Not perfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang