Saat diberi pertanyaan 'kapan patah hati terbesarmu?', maka Jema akan menjawab hari Senin setelah pulang ujian akhir sekolah. Kemudian, jika ditanya 'tentang apa patah hati itu?', maka Jema dengan senang hati akan menceritakan semuanya. Saat itu usianya baru saja menginjak remaja, masa sekolah menengah pertama yang kata banyak orang masa pemberontakan dimulai. Banyak hal yang selalu ingin dicoba di masa itu, kenakalan-kenalakan yang selalu berujung keterusan hingga dewasa.Jema merasakan masa itu? Jelas, dia melewati masa itu penuh dengan perjuangan. Laki-laki bermata bulat itu bukan korban perundungan, bukan pula anak nakal yang sering masuk BK karena ketahuan bolos di pinggir jalanan. Jema hanya remaja biasa yang hidupnya tidak ada yang istimewa, tetapi perjalanannya sungguh panjang.
"Kakak ... pulang nanti bisa beli dulu susu di warung yang depan sekolah?"
Jema yang saat itu tengah mengikat tali sepatunya menoleh pada sosok wanita yang baru saja berbicara. "Boleh Ibu, mau beli berapa?" tanyanya.
"Tiga aja, kayaknya uangnya cukup buat beli tiga doang," jawab wanita itu.
Wanita yang dipanggil ibu itu memberikan uang lima ribu dan sepuluh ribu pada Jema. Jema menerima, dia tersenyum kemudian pamit pada ibu yang kini sudah berjalan menghampiri adik-adiknya. Hanya ada satu hal yang selalu dipandang rendah oleh orang-orang terhadap dirinya, yaitu fakta bahwa dia tinggal di panti asuhan.
***
Jika boleh diadu keberuntungan, mungkin Jema masih bisa maju meskipun tidak di barisan paling depan. Setiap melihat adik-adiknya yang datang dijemput orang tua baru mereka, perasaannya senang. Namun, perasaan lainnya datang. Jema iri melihat bagaimana senyum manis yang terpatri dari setiap anak saat pergi untuk memulai kehidupan barunya.
Jema sering kali berpikir bahwa tidak akan pernah ada yang datang untuk mengadopsinya karena usianya yang sudah besar. Rata-rata anak yang diadopsi itu seusia sekolah dasar, sedangkan dirinya sudah masuk sekolah menengah pertama meskipun masih di kelas awal. Namun, keberuntungan masih berbaik hati padanya. Hari itu dia baru saja pulang saat jam menunjukkan pukul lima sore karena jadwal piketnya. Jema dikejutkan dengan pernyataan Sang Ibu yang mengatakan bahwa ada sepasang suami istri yang datang untuk menjemputnya.
Jema senang, tentu saja. Itu artinya dia akan diadopsi! Jema akan memulai kehidupan baru yang selama ini selalu ia bayangkan. Meskipun sedih karena harus meninggalkan panti yang sudah menjadi saksi tumbuh kembangnya ini. Namun, Jema tidak ingin menjadi orang munafik yang akan menolak kesempatan emas yang belum tentu datang lagi.
"Kakak hati-hati ya, semoga betah di rumah barunya. Jangan lupa sama Ibu, sama adek-adek juga."
Jema tersenyum hingga matanya menyipit, dia tengah pamit pada Ibu yang selama ini sudah mengurusnya. "Makasih Ibu udah rawat dan jaga aku sampai sebesar ini. Aku nggak akan pernah lupa sama Ibu dan adek-adek yang ada di sini," katanya.
Ibu tersenyum, dia mendekat ke arah Jema dan menangkup wajah laki-laki itu. Matanya berkaca-kaca, tidak menyangka bahwa bayi yang dulu sekali berada di gendongannya sekarang akan pergi. "Nanti jika suatu saat yang nggak pernah Ibu harapkan, kalau rumah kamu udah nggak menerima lagi ... pulang ya, Nak? Rumah Ibu selalu terbuka untuk siapa pun yang pergi tetapi harus pulang lagi," ucap Ibu memberikan pesan seraya mengelus pipi Jema.
"Ibu kenapa bilang gitu deh?" tanya Jema seraya tertawa kecil.
"Tolong selalu ingat pesan itu, ya."
Melihat bagaimana raut wajah Ibu yang serius membuat Jema mengangguk. Tidak enak juga jika dirinya harus merusak suasana. Tak lama suara mobil terdengar di pekarangan panti asuhan itu membuat keduanya menoleh.

KAMU SEDANG MEMBACA
ONESHOOT
FanfictionIsinya betulan oneshoot ya, bisa brothership atau ship biasa atau tentang keluarga, sahabat, dll. Pokoknya all genre bisa aja ada di oneshoot ini. Happy reading Bukan BxB, ingett!!! Enhypen & NCT