Kufur

70 9 24
                                    

Judul : KUFUR (Cerpen Satire)Karya : Fathul Mubin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judul : KUFUR (Cerpen Satire)
Karya : Fathul Mubin

Hafidz Al-Idris.
Itu adalah nama lengkapku. Umurku 25 tahun. Anak pertama dari tiga saudara. Ketiganya perempuan. Farah, Nabila, dan paling kecil Irsya. Aku adalah anak seorang wali kutub, yaitu ayahku yang bernama Ustadz Al-Idris Akromah Tsabit. Aku lahir dari rahim ibu Walidah Salamiyah, istri kedua ayah. Sedangkan istri pertama tidak memiliki anak alias mandul. Ayah adalah seorang Ustadz terpandang di desa "Kaliwetan", Kecamatan Qardi, Sumatera Selatan.

Keseharianku mulai berdakwah pada kajian setiap malam jum'at di masjid Al-Akromah. Antusias masyarakat kurang besar menghadiri kajian kecuali diadakannya gelaran syukuran setelahnya. Membagi makanan berupa nasi tumpeng. Tidak jarang, makanan berdatangan dari salah satu perwakilan masyarakat berniat menitipkan berkat hajat dan doa atas nama mayit si fulan dan si fulan. Sering aku melihat mereka absen menghadiri kajian, meski ayahku ketika berceramah terselip canda.

Kepandaiannya dalam memahami ilmu Ma'rifat patut aku puji. Kenapa ayah sosok agamis sehebat itu, menjadi tidak asyik bagi masyarakat awam di desa? Sering aku menyarankan agar ayah mengajak kita semua pindah ke mesir.

Uang kita cukup untuk menimba ilmu dan berdakwah kesana. Apa kata ayah? "Dakwah itu atas dasar kesabaran dan kasih sayang kekeluargaan." Selalu tersenyum indah.

Kajian Jum'at malam ba'dah isya ini sedikit sekali yang hadir. Setelah membeli obat sakit kepala, aku meminta ayah istirahat dan tidak memaksa diri. Sejak sore kondisi ayah kurang sehat, bertambah buruk memasuki waktu isya'. Aku diutus Manshur, teman satu pondok pesantren Al-Irsyad Bantani di banten memanggil ayah karena setelah sholat isya, tidak mendapati beliau menjadi makmum disana. Ayah sangat menghormati guru besar Gus Farid Balagho, sehingga selalu menjadi makmum dibelakangnya.

Padahal, Gus Farid sudah sangat renta, sering lupa ayat dan suaranya nauzubillah.
"Kamu isi kajian sana. Gantian. Bawa kitab ayah, kitab Fiqih Muyassar. Cepat." Walaupun anak seorang ustadz masyur dan sanad ilmunya jelas terpercaya sesuai ASWAJA; aku selalu berat hati jika harus mengisi kajian yang begitu-begitu saja.

Penampilan masyarakat jauh dari sunnah, Memakai celana Isbal, dan menertawakan ayahku yang mendapat gelar wali Qutub dari almarhum kakek, Basmalah Tsabit. Ayah tidak mempedulikan itu dan menepuk pundakku setelah menyerahkan kitab tebal diantara koleksi kitab ayah. Jujur, aku paling suka kitab filsafat islam. Salah satunya kitab Tasawuf Modern karangan Prof. Dr. Hamka.

"Assalamulaikum..." Menjaga amanah ayah, aku pamit pada kedua orangtua dan bersiap menuju masjid Al-Akromah. Kurasa aku berjalan pelan saja. Teringat padaku nasehat ayah teladan, Lukman Al-hakim. Nasehatnya adalah, "Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Seburuk-buruk suara ialah suara keledai." QS. Luqman [31] : 19. Belum lama aku berjalan, ada saja ujiannnya.

Dakwah CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang