Ezio sakit.
Dan yang kulakukan hanya duduk diam bersama Aijaz dan Khaezar diatas sofa. Kami menatap kearah Ezio yang sedari tadi tidak berhenti menangis di pelukan ibunya.
Aku kebingungan, sungguh. Sudah pernah kukatakan bahwa aku tidak punya pengalaman apapun tentang anak-anak. Bahkan saat pertama kali aku mengganti popok Ezio tempo lalu, Aijaz yang memberi tahu cara nya padaku.
Ezio tak berhenti menangis sejak malam tadi. Entah karena apa, badannya tiba-tiba menghangat lalu setelahnya panas. Saat di cek benar saja suhu tubuhnya 39 derajat.
Aku panik. Tapi ibunya tidak. Ia dengan cekatan mengganti baju Ezio dengan baju tipis yang nyaman untuk dipakai. Tidak menggunakan nya selimut maupun jaket, dan mengatur suhu ruangan menjadi sedikit lebih sejuk. Saat aku bertanya kenapa tidak dipakaikan jaket, dia bilang itu hanya akan menghambat hawa panas keluar dari tubuh. Yang kulakukan saat itu hanya mengangguk, mencoba untuk terlihat mengerti.
Selain panas, Ezio juga sempat muntah sampai dua kali. Ugh, maaf tapi rasanya aku ingin ikut muntah juga saat melihatnya. Apalagi bekas muntahannya harus aku yang membersihkan. Namun daripada itu, aku lebih merasa kasihan melihat anak sekecil Zio menangis keras tanpa henti. Ia terhenti hanya karena kelelahan, dan tertidur. Setelah bangun, anak itu akan melanjutkan tangisnya.
Pasti rasanya tidak nyaman. Aku saja yang sudah tua begini saat sedang demam rasanya seperti akan mati, saking tidak enak nya.
"Kasihan Adek".
Aku menundukkan kepala, menatap Khaezar yang ada di pangkuan. Kedua bocah yang sedang bersamaku terus-terusan menggumamkan kata 'kasihan Adek', sedari tadi. Kuanggukkan kepalaku pertanda setuju, lalu mengusap pelan rambut Khaezar dan Aijaz yang berada di sampingku.
"Abang sama Mas harus sehat ya.. makan yang banyak dan tidur siang yang cukup. Oke?". Secara reflek aku memberikan petuah yang entah berguna atau tidak pada kedua anak ini.
"Oke ayah". Ucap Aijaz teramat pelan.
Sementara itu, Khaezar masih diam memperhatikan Adiknya. Lalu secara tiba-tiba anak itu berdiri, menghampiri ibunya yang tengah duduk di meja pantry, masih menggendong Ezio.
"Ibu, sudah makan? Mau mas ambilkan makan tidak?".
Eh?.
Aku terkejut mendengar pertanyaan Khaezar pada ibunya, sepertinya ibunya pun merasakan hal yang sama. Kepalanya menoleh kearahku, menahan senyuman. Aku sama sekali tidak menyangka Khaezar akan bertanya seperti itu pada sang ibu. Padahal anak itu terlihat lebih cuek dari kakaknya. Namun siapa sangka jika ternyata ia seperhatian ini.
Kulihat wanita yang tengah menggendong Ezio itu menggeleng pelan. "Ibu sudah makan Mas, tapi ibu haus. Ibu boleh minta tolong ambilkan minum?". Ucapnya tersenyum lembut.
Dengan tegas Khaezar menganggukkan kepalanya, menyanggupi permintaan sang ibu. Lantas aku berdiri berniat membantu Khaezar mengambil minum.
Aijaz hanya mengekoriku dengan tangan kecilnya yang memegang erat ujung kausku. Hari ini, Aijaz yang biasanya lebih menempel pada sang ibu terlihat tidak mau lepas dengan ku.
"Mau ayah bantu, Mas?".
Khaezar menoleh, setelahnya mengangguk. "Tolong angkat Mas ambil gelas diatas itu, ayah". Pintanya seraya menunjuk ke rak bagian gelas.
Dengan segera aku menggendong Khaezar, mendudukkan tubuh kecilnya pada bahuku yang lebar.
"Sudah". Khaezar memberitahu.
Perlahan aku menurunkan Khaezar dari bahuku. Sekilas ia terkekeh geli saat aku menurunkan nya di lantai. Kuusak rambutnya, membuat senyuman nya semakin lebar.
"Telimakasih ayah". Ucapnya yang langsung kubalas dengan senyum gemas.
Khaezar berlari mengambil air dari galon dengan cekatan. Namun perhatianku buyar saat tangan Aijaz menarik pelan ujung kausku.
Aku menunduk, menyamakan tinggi badan Aijaz. "Kenapa bang?".
Namun bukannya menjawab, Aijaz malah memelukku erat. Aku langsung menggendongnya, mencium pipinya sekilas. Selama aku disini memang hanya Aijaz saja yang belum pernah ku gendong. Anak itu jarang sekali merengek padaku, dan bersikap dewasa dengan tidak meminta ku untuk menggendongnya. Katanya sudah besar, dan gendongan itu hanya untuk adik-adik nya saja yang masih kecil.
Tapi hari ini ia terlihat sedikit aneh, bahkan sejak pagi pun aku sudah merasakannya. Aijaz anak yang ekspresif menurutku, ia juga ceria, dan sangat dewasa di usianya yang masih belia ini. Namun hari ini malah sebaliknya. Sejak pagi saat ia mengetahui bahwa adiknya sedang sakit, wajahnya langsung murung. Berbicara pun sepertinya malas. Ia hanya duduk disampingku dengan robot astronot kesayangannya.
Kuusap pelan rambut panjangnya. Mencium nya beberapa kali, tubuh yang biasa nya aktif sekarang terkulai lemah. Sepertinya ia teramat sedih melihat adiknya sakit, dan tak berhenti menangis. Tak tega tapi ia juga bingung harus seperti apa, mungkin.
Sementara itu, Khaezar terlihat tengah mencoba menghibur adiknya dengan membawa beberapa lego miliknya kehadapan sang adik, namun hanya di balas gelengan serta tangisan pelan dari Ezio.
"Kalau sampai malam panasnya tidak turun, kita harus segera ke dokter".
Tatapanku pada Khaezar terputus saat mendengar ucapan pelan Alana. Oh jangan tanya darimana aku tau nama wanita itu. Tentu saja aku diberitahu oleh Aijaz.
"Iya". Ucapku singkat, melangkah pelan kearah ketiga orang itu, masih dengan Aijaz di pelukanku.
Secara natural, naluri kebapak an ku keluar. Rasa kasihan mendominasi lebih besar sebenarnya. Rasanya seperti ingin memindahkan sakit Ezio padaku saja.
Ku jongkokkan badanku, mengarah pada Ezio yang masih berada di gendongan Alana. Mencoba mengulas senyuman, walau sebenarnya lebih ke ingin menangis. Kasihan sekali melihatnya lemas seperti ini.
"Adek, mana yang sakit sayang?".
Ezio masih terisak pelan, namun tangan mungilnya menunjuk kepalanya, "Pala adek, cakit ayah".
Ugh, menggemaskan.
Kusingkirkan rasa gemas didadaku, lalu mendekatkan diri pada Ezio. Mengusap kepalanya. "Mau ayah beritahu mantra supaya sakitnya hilang tidak?". Tanyaku pada Ezio.
Namun sepertinya yang terlihat penasaran bukan hanya Ezio, melainkan kedua kakaknya juga. Terbukti saat kepala Aijaz yang tadinya terkulai lemas di bahuku terangkat, menatap penuh penasaran padaku. Dan Khaezar yang menghampiriku dengan tergesa, meninggalkan lego nya begitu saja di dekat kaki ibunya.
"Mau". Lirih Ezio, teramat lemas.
"Sakit sakit hilanglah, hilanglah~
Jangan kau datang lagi, sakit cepat hilanglah~". Tidak buruk juga lagu karanganku ini, hehe."Gimana Adek? Masih sakit tidak?".
Kulihat senyuman Ezio mulai terbit, wajahnya terlihat senang, walau masih sangat lemas. Isakan nya pun berganti dengan senggukan yang masih tersisa. Tangannya menepuk pelan kepala kecilnya.
"Sedikit belkulang".
Sontak aku dan Alana terkekeh mendengar ucapan Ezio, kosakata yang dipilihnya benar-benar tak terduga.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BECAME IMPROMPTU FATHER
General FictionSepertinya aku mabuk. Bagaimana bisa aku berada dirumah orang lain? Aku mengerjapkan mata pelan, mencari kesadaran saat melihat tiga anak laki-laki berlari mendekat. "Ayah! Kenapa tidur disini? Memangnya tidak dingin?" Apa? Ayah? Yang benar saja! S...