11. 🍓

703 80 0
                                    

Pagi ini berjalan seperti hari-hari biasanya. Hanya satu yang berbeda, Aijaz dengan raut wajah terlihat kesal, kedua tangan yang bersedekap dada, dan jangan lupakan bibir nya yang manyun. Sejujurnya itu sama sekali tidak menakutkan. Aku bahkan harus menahan tawa ku karena terlampau gemas.

Aijaz sudah terbangun sejak tadi, dia bahkan sudah siap dengan baju seragamnya. Anak gemas itu memang terbiasa bangun pagi karena jadwalnya untuk berangkat ke sekolah. Sedangkan dua adiknya masih berada di alam mimpi.

Sejak tadi aku tidak berhenti menatap Aijaz yang dengan sengaja membuang muka setiap kali tatapan nya bertemu denganku. Sedangkan aku disini tengah memikirkan cara membujuk Aijaz.

Aku berdehem pelan, mendadak canggung. Ku usap pelan belakang leherku. Geli jika dipikir, aku seperti hendak melamar seorang gadis. Padahal aku hanya ingin membujuk bocah berusia 5 tahun.

"Mm abang, maafin Ayah ya..".

Aish kenapa to the point sekali sih aku?!.

"Hmph!". Aijaz kembali memalingkan wajahnya dengan tangan yang masih dilipat didepan dada.

Ugh, baiklah sepertinya dia semakin merajuk.

Tatapanku beralih pada Alana yang datang dengan dua mangkuk bubur ayam buatannya. Dengan cekatan ia menyiapkan sarapan untukku dan Aijaz. Tanganku menarik ujung baju Alana saat wanita itu akan kembali menuju dapur.

"Ada apa?".

Aku menarik tubuh Alana untuk mendekat sebelum berbisik. "Aku tidak tahu cara membujuk anak-anak". Ucapku memelas.

Kulihat dahinya mengernyit kecil. "Bukankah kau sangat handal dalam urusan anak-anak ya?".

Iya itu sih mungkin pemilik tubuh ini. Kalau aku kan tidak. Jawabku dalam hati, tapi tidak mungkin kan aku ucapkan langsung. Yang ada dia malah curiga.

Alana menegakkan badannya saat mendengar suara tangisan yang berasal dari kamar para pangeran kecil berada. Rupanya si bungsu Ezio sudah bangun.

Lama kutatap Alana yang melangkah tergesa menuju kamar anak-anak, sebelum ku alihkan tatapan pada Aijaz yang tengah asyik memakan sarapannya. Reflek tanganku mengusap kepala nya dengan lembut.

Kupikir Aijaz akan menolak lalu semakin marah padaku, ternyata anak itu hanya diam saja dan tetap melanjutkan acara makannya.

Kutundukkan kepala mendekati wajahnya yang menggembung akibat bubur yang ada dimulutnya, mata jernihnya beralih menatapku. Reflek senyuman ku mengembang, tanganku masih mengusap kepalanya.

"Maafin Ayah ya bang.. Ayah tidak sengaja mendorong Abang saat menggendong Dede. Saat itu Ayah sedang bodoh, jadi nya Ayah tidak bisa memahami situasi. Abang memaafkan Ayah tidak?".

Sejenak aku lihat Aijaz terdiam dengan mulutnya yang masih mengunyah, wajah nya terlihat sedang berpikir. Gemas sekali.

Tak lama anak laki-laki itu menganggukkan kepalanya pelan, tapi masih enggan menoleh. Aku tak paham, apa dia masih marah atau apa.

"Itu artinya Abang maafin Ayah?". Tanyaku memastikan.

"Iya".

Senyumanku semakin lebar mendengar jawaban Aijaz, dengan gemas ku kecup pipinya. Aku senang bisa berbaikan dengan bocah gemas ini, walaupun kulihat ia masih tampak gengsi. Pasalnya bekas kecupanku di pipinya segera di hapus. Huhu tidak apa-apa nak.

___

Akhirnya setelah keributan pada pagi tadi, aku mulai bisa bersantai di atas sofa. Iya ribut, tadi pagi sempat ada tragedi pertengkaran antara si tengah dan si bungsu. Selepas mengantar Aijaz ke sekolah, kulihat kedua anak laki-laki ku tengah menyantap sarapan nya dengan tenang.

Aku menghampiri keduanya lalu kukecup kepala mereka satu persatu. Karena tak melihat keberadaan ibu mereka, akhirnya aku beranjak menuju dapur. Namun belum sampai di dapur keributan terjadi di meja makan.

Langkahku sangat cepat menghampiri mereka, bahkan aku hampir tersandung. Kulihat mereka menjambak rambut satu sama lain. Yang jadi masalah adalah tangan mereka kotor, dan juga aku takut rambut halus nan tebal mereka rontok.

"Hei hei tidak boleh seperti itu nak. Aduh".

Khaezar melepaskan jambakan nya lalu merengek meminta di gendong. Disisi lain Ezio juga menangis dengan wajah merah menahan kesal. Sungguh aku pusing, aku tidak tahu mereka berkelahi karena apa.

Apa aku ikut menangis saja ya?. Tidak mungkin bodoh.

Karena takut salah langkah lagi, aku segera memanggil Alana. Wanita itu bergegas mendatangiku dengan raut bertanya, yang hanya mampu ku jawab dengan kedikan bahu.

"Bawa Adek saja dulu, tanya dia ada apa. Aku akan membawa Mas nya dan menanyainya juga". Ucapku panik.

"Oke".

Alana dengan tenang membawa Ezio kedalam gendongan lalu membawanya pergi.

Sedangkan aku menggendong Khaezar yang mulai menangis kencang. Aku membawa nya untuk ikut duduk di kursi makan, karena jujur saja aku sedikit lelah setelah membujuk dan mengantar Aijaz ke sekolah.

Kukira akan selesai masalahku, tapi ternyata tidak semudah itu ferguso~

___

Catatan Anov: Beribu maaf buat kengaretan cerita ini, author nya abis sakit:') btw update cerita ini aku jadwalin supaya ga ngaret-ngaret lagii~

Dan juga post an selanjutnya berisi keluarga bapak Ian yaa huehehe.

Terimakasih🫶🏻🍓

BECAME IMPROMPTU FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang