Bab 3
Seperti yang disarankan Kepala Sekolah, Hermione memutuskan untuk menemui Madam Pomfrey di rumah sakit sekolah. Namun, matron wanita itu berpikir kalau Hermione hanya merasa cemas karena hari peringatan Pertempuran Hogwarts semakin dekat.
Ia memberi Hermione Ramuan Penenang dan memintanya untuk berhenti meminum ramuan Tidur Tanpa Mimpi. Dia juga menyarankan Hermione untuk istirahat sejenak atau liburan untuk menghilangkan stres, tapi sepertinya Hermione tidak bisa melakukannya karena semester masih berjalan.
Dia ingat percakapannya dengan Kepala Sekolah Snape beberapa jam yang lalu. Dia tidak menyangka mereka bisa mengobrol dengan baik dan mulai terbuka sedikit. Hermione merasa sedikit lega bisa berbagi kecemasannya. Lagi pula, dia tahu bahwa dia tidak bisa terus begini.
Mungkin Severus Snape bisa membantu. Setidaknya dia mau mendengarkan masalahnya. Mungkin jika dia curhat padanya, Severus bisa memberikan nasihatnya tentang bagaimana menghadapi mimpinya.
Tapi bagaimana caranya? Akan aneh jika Hermione tiba-tiba bercerita bahwa dia memiliki mimpi yang nyata tentang menjadi istri Severus dan juga memiliki anak. Tidak! Ini terlalu memalukan. Hermione tidak ingin menceritakannya dengan siapa pun.
Malam semakin larut, dan Hermione sedikit khawatir untuk tidur, siapa tahu dia mengalami mimpi yang sama seperti kemarin malam. Meski begitu, untuk malam ini Hermione memutuskan untuk tidak meminum ramuan Tidur Tanpa Mimpi.
Merasa lelah dan mengantuk, begitu kepalanya menyentuh bantal, dia langsung jatuh ke dalam kegelapan.
Api di mana-mana, suara ledakan, dan puing-puing berserakan. Hermione bisa melihat kilatan kutukan beterbangan ke segala arah sementara orang-orang berlari menghindarinya dan melawan. Dia bisa mendengar jeritan siswa yang sekarat, Auror, dan Pelahap Maut. Orang-orang menembakkan kutukan merah dan hijau satu sama lain sebisa mereka, dan suara-suara itu semakin keras dan semakin dekat seiring pertempuran itu terjadi.
Jantung Hermione berdebar kencang di dadanya, dan dia mencoba bernapas dengan tenang agar tidak panik. Kekacauan itu luar biasa. Jeritan, haus darah, dan kengerian membuat mustahil untuk fokus dan mencermati mantra-mantra yang terjadi tepat di depannya.
Dia melihat Voldemort, berjubah hitam, berdiri di atas tangga utama yang hancur, tongkatnya menunjuk ke arahnya.
Ini hanya mimpi, pikir Hermione. Dia sudah mati. Voldemort sudah mati. Harry membunuhnya. Kau selamat. Kau hidup.
Kemudian, Hermione mulai mendengar bisikan, dan perlahan menyadari bahwa dialah sumber dari suara bisikan itu.
Suara-suara datang dari sekelilingnya, mengelilinginya. Mereka mengepung dan menyerbu jiwanya, dan dia ingin berteriak tetapi tidak. Hermione merasa seolah-olah bisikan itu mencoba menenggelamkannya.
Dia berjuang, ingin melarikan diri tetapi dia tidak bisa bergerak sama sekali. Suara-suara itu semakin keras, tetapi mereka masih sangat teredam. Kata-kata mereka terdengar terdistorsi dan tidak jelas. Mereka berteriak, memanggil namanya berulang kali.
Hermione terbangun dengan terengah-engah. Air mata mengalir di pipinya, dan dia tubuhnya basah, bermandikan keringat dingin.
Mendesah dalam-dalam, Hermione bangkit dari tempat tidurnya. Dia meraih tongkatnya dan mengucapkan mantra tempus. Saat itu masih pukul 11.57 malam. Dalam mimpinya, di luar gelap gulita. Pada kenyataannya, sekarang hampir tengah malam. Dia melirik ke jendela, yang menunjukkan bahwa langit berwarna abu-abu gelap dan mendung. Tidak ada bintang yang terlihat. Dia mendesah lagi. Sempurna.
Hermione pergi ke kamar mandi dan memercikkan air ke wajahnya. Setelah itu, dia melemparkan dirinya ke tempat tidurnya. Dia menatap langit-langit sambil menunggu tidur untuk datang mengambil alih. Pikirannya melayang ke mimpinya. Mimpi yang selalu terjadi pada akhirnya. Dia tumbuh dewasa dengan bermimpi tentang perang. Terkadang dia terbangun dengan terengah-engah dan terisak. Terkadang, butuh berhari-hari sebelum dia pulih.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Starts With A Dream
FanfictionLelah bermimpi buruk, Hermione meminum ramuan Tidur Tanpa Mimpi. Alih-alih tidur dengan damai, ia justru bermimpi aneh--mimpi yang membuatnya mempertanyakan perasaannya kepada bosnya, Severus Snape.