37. Asya

608 54 4
                                    

Kepulangan Asya dari rumah sakit semakin menambah keprotektifan Naki. Lelaki dingin itu bersikap melebihi ibunya. Kemana saja harus bersama lelaki itu, bahkan ponselnya bisa bergerak perjam sebab Naki yang selalu menanyakan keadaan.

"Emm, Asya juga seneng di perhatin Naki. Itu tandanya dia sayang sama Asya." ujarnya pada dua teman sekolahnya, Windi dan Sanita. Mereka sedang melakukan panggilan video bersama yang sudah terjadi 12 menit berlangsung.

"Syukur deh, gue ikut seneng." ucap Windi tersenyum lebar.

Sanita menampakkan wajah jutek seperti biasa. Mulut gadis itu memang pedas. Tetapi di balik itu dia memiliki hati yang tidak tegaan, tergantung sih.

"Besok ke bioskop yuk, mau nggak?" ajak Windi semangat.

Asya terlihat berpikir. "Males," ujar Sanita. Jangan lupa wajah menyebalkan itu rasanya ingin sekali Windi tampar.

"Asya nggak tau," jawabnya menggendikan bahu.

Klik

Pintu kamar mandi terbuka, seorang lelaki pemilik kamar tersebut mengenakan boxer hitam biru tanpa atasan.

Mata tajamnya menemukan gadisnya sedang berbicara melalui tatapan layar. Kakinya melangkah mendekat, ia mengecup pelan puncak kepala Asya sampai gadis itu tersentak. Kedua telinganya terdapat earphone sehingga tidak mendengar bahkan menyadari kedatangan lelaki itu.

Naki mengecup sembari merangkul bahunya. Mulut Asya kembali terkantup saat hendak berbicara. Physical touch tersebut terjadi beberapa belas detik sebelum Naki memasuki walk in closet.

"Ekhem! Ekhem!" deheman yang disengaja Windi mengalihkan atensi Asya. Gadis itu menatap kedua temannya dengan wajah polos.

"Windi tenggorokannya, gatal?" Pertanyaan polos itu lolos dari bibir Asya. Sanita mendelik kecil.

"Enggak, kok." balas Windi.

"Lo dikamar siapa, Sya?" Mereka baru menyadari cat kamar Asya hitam dan abu-abu. Itu bukan Asya banget.

Apalagi melihat keberadaan Naki yang tiba-tiba muncul serta berskinsip di depan mata.

"Oh, di rumah Naki."

"Emm, ati-ati Sya. Ntar di terkam Naki." celetukan Sanita mengundang tatapan mendelik dari Windi. Berbeda dari tatapan Asya yang bertanya-tanya.

"Emangnya Naki hewan, masa Asya diterkam sih."

"Haduhhh!" lelah Sanita. Meracuni otak polos Asya memang menyenangkan tetapi juga menguji kesabaran.

"Jangan dengerin Sanita, sesat." sahut Windi, tetap Windi lah teman yang benar.

"Ohh," Asya hanya mengangguk saja. Ia meraih bantal meletakannya di atas paha, guna menyangga kepalanya.

"Lo ngantuk?" tanya Windi melihat air muka Asya yang berubah.

"Hemm, Asya sedikit ngantuk. Tapi nggak papa kok, kita tetep lanjut ngobrol." Malam menunjukkan pukul 8. Biasanya Asya tidur jam 9 tetapi kali ini entah kenapa gadis itu merasa kantuk lebih dulu menyerangnya.

Ia menguap sekali. Hal itu tak luput dari Windi dan Sanita. "Kayaknya udahan aja deh, bisa di lanjut besok di kelas."

Sanita mengangguk,"Betul."

"Maaf ya, gara-gara kantuk Asya obrolannya harus berhenti." Bahu sempit gadis itu merosot.

"Ngomong apa sih, nggak gitu kok. Karena emang udah malam aja, jam 8."

"Hm, iya juga ya."

"Besok ketemu di sekolah, oke. Bye Syaaa..." ucap Windi.

Asya ikut menarikkan sudut bibirnya membentuk senyuman sabut yang sangat cantik. "Byeee..."

asyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang