Bab 9

697 405 134
                                    

Tandai typo!

Sepanjang perjalanan, pria berusia 27 itu terus memikirkan montir muda itu. Wajah Leno tak asing baginya, seolah-olah ia melihat semua kenangan masa lalu di wajah itu. Wajah yang penuh ketenangan, namun di baliknya tersembunyi kelelahan yang tak terungkap.

Ia mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wajah itu. Namun, ingatannya masih kabur. Seolah ada tirai yang menutupi kenangan itu, membuat dirinya penasaran dan ingin mengungkap misteri di balik wajah Leno. Ia merasakan ada benang tak kasat mata yang menghubungkan dirinya dengan Leno, sebuah ikatan yang terjalin di masa lalu, mengantarkannya pada sesuatu yang belum terpecahkan.

"Kok saya kepikiran anak itu, ya," lirih Artaya, suaranya mengalun lembut dalam keheningan kabin mobil. "Wajahnya ... entah kenapa terasa familiar, seperti sudah pernah saya lihat." Dirinya mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wajah itu. Namun, ingatannya masih kabur. Seolah ada tirai yang menutupi kenangan itu, membuatnya penasaran dan ingin tau.

Mobil yang seharusnya berbelok ke kiri menuju jalan tol, tetapi ia malah terus lurus menelusuri jalan raya yang terlihat sepi. Seolah terhipnotis oleh suatu sesuatu, ia mengutamakan jalan yang lurus dan terbuka itu. Dengan leluasa, Artaya menaikkan kecepatan mobil, menjadikan mesin mobil itu meraung dengan keras.

Mata tajamnya menatap lurus ke depan, menelusuri jalan raya yang sepi itu dengan intens. Ia merasa ada sesuatu yang menarik perhatiannya, sesuatu yang belum ia temukan. Sesekali, ia menolehkan kepalanya ke arah spion, mencari sesuatu yang tak diketahui.

"Kenapa saya terus terpaku pada wajah itu?" Dia bergumam dalam hati, suaranya mengalun sambil mencoba mencari jawaban dari pertanyaan yang menghantuinya. "Mungkinkah ada hubungan antara wajah itu dengan masa lalu yang pernah saya pendam?"

Seolah terdorong oleh keingintahuan yang mendalam, menginjak pedal gas dengan kuat. Mobil itu melesat cepat, membelah jalan raya yang tak terlalu ramai-karena masih jam kerja- dengan intensitas yang tak terhentikan. Dirinya memutuskan untuk kembali ke rumah besar itu.

Setelah bermenit-menit melakukan perjalanan dengan kecepatan yang tinggi, akhirnya tiba di depan gerbang rumah besar itu. Dejavu kembali ia rasakan. Rumah bertingkat dua berwarna putih gading itu kini terlihat kotor dan penuh dengan rerumputan liar yang menjalar di dindingnya. Kedua matanya menatap rumah itu dengan tatapan yang penuh kerinduan.

Setelah membuka pintu dengan kunci yang ia ambil dari saku jaketnya, kedua tungkainya melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Udara di dalam rumah terasa lembap dan berbau kuno. Sebelum benar-benar melangkah masuk, ponselnya berdering di saku celananya.

"Artaya, can you pick me up? I've arrived at the airport." Suara lembut seorang perempuan terdengar di seberang sana.

"What? Weren't you coming over the weekend? Why so suddenly, Love? I'll pick you up then." Artaya menjawab dengan wajah terkejut sekaligus bahagia. "You wait for me there."

"Yes, I will wait for you in front of the airport lobby," jawabnya di akhiri kekehan kecil.

Dengan segera, Artaya berbalik badan dan mengunci kembali pintu rumah itu. Ia tak ingin membuang waktu lagi di rumah besar itu. Ia berlari kecil menuju mobilnya, langkahnya tergesa-gesa mencari kunci mobil di saku celananya. Setelah menyalakan mobil, Artaya menginjak pedal gas, membiarkan mobil melesat cepat, membelah jalan raya yang mulai ramai. Raungan mesin mobil menyerukan kegembiraan di hatinya, seolah mencerminkan perasaannya saat ini. Perasaannya bahagia setelah menerima telepon dari kekasihnya, bahwa ia telah datang dari Sydney ke Jakarta.

Leno Alendra [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang