Not wanting to sound cunning, but his woman looks the most beautiful in a situation like this: flushed face, sweat dripping down the temple, eyes closed, lips parted and occasionally uttering his name. And of course ... getting under him.
Sudah tak terhitung berapa kali Jeff memuji parasnya malam ini, meski tak dihiraukan karena yang dipuji sibuk meracau sendiri.
Not that he's complaining.
She can do anything in bed and he will still adore her unconditionally. Termasuk meremas pundaknya secara tiba-tiba, seiring Jeff merasakan cengkeraman pada miliknya di bawah sana ... seperti yang terjadi sekarang.
"Babe." Jeff memanggil kekasihnya itu, memintanya membuka mata. "Look at me."
Sayangnya, permohonan itu hanya dibalas dengan gelengan, kening yang mengkerut, serta remasan yang semakin erat di kedua pundak.
"Are you close already? 'Cause I haven't even started." Dia menahan senyum geli, tanpa sedikitpun mengendurkan usahanya membawa mereka berdua merasakan ekstasi.
Ketika lagi-lagi tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya, baginya sama sekali bukan masalah.
Sedikit pengabaian tidak akan merusak malam yang panas ini.
Dengan sayang, dia merendahkan tubuhnya sedikit, demi bisa mendaratkan ciuman di bibir yang merah merekah di hadapannya itu. Lembut tapi dalam. Pelan tapi menuntut. Berpacu dengan ketegangan yang dia rasakan pada tubuh di bawahnya, sebelum perempuan itu bergetar hebat dalam hitungan detik.
Jeff hampir berpuas diri, jika saja ciumannya tidak diputus dengan tiba-tiba.
"Please, stop!" Begitu kata perempuan dalam kungkungan kedua lengannya, agak kurang jelas di antara napasnya yang terengah.
Tentu saja hal itu membingungkan.
"Pardon?" Jeff mengernyitkan dahi, curiga telah salah dengar.
Tapi, sebelum mendapatkan jawaban, tubuhnya telah lebih dulu didorong mundur.
Lalu, secepat kilat perempuan itu berlari menerjang pintu kamar mandi.
Selama sekian detik, Jeff berusaha memproses apa yang terjadi. Berusaha menahan rasa tidak nyaman pada sekujur tubuh karena ditinggalkan pada saat paling tidak diharapkan. Hingga kemudian suara muntah-muntah yang terdengar membuat otaknya kembali bekerja.
Shit.
Menyadari bukan saatnya menertawakan nasibnya sendiri, segera dia melompat turun dari ranjang, menyambar celana di lantai dan mengenakannya dengan cepat. Lalu menyusul ke ruangan yang pintunya tidak sempat tertutup di sisi lain kamar tidur.
Saat ia tiba, kekasihnya sudah berjongkok di depan kloset, tengah menguras apapun yang ada dalam perut.
Melihat tubuh kecil itu bergelung dan gemetaran, refleks tangannya menyambar tumpukan teratas handuk di kabinet samping lavatory, lalu dia kibarkan benda itu menutupi punggung sang wanita, sebelum turut berjongkok di sisinya.
Dia urut perlahan belakang lehernya dengan rasa bersalah yang mulai timbul, berharap bisa sedikit mengurangi sakit yang dirasakan perempuan itu ketika muntahnya tak kunjung terhenti, meski jelas-jelas tak ada lagi yang bisa dikeluarkan.
Tak lama kemudian perempuan itu menangis.
Terlihat begitu kecil dan tak berdaya, sehingga membuat Jeff kian terkoyak oleh rasa cemas.
"It's okay. It's okay to let it out," bisiknya, mencoba menenangkan, meski dia sendiri tidak merasa tenang. "Take your time, and I'll take care of you."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASSCHER
Romance"Actually, I don't know which one is better. Whether I ask you to stay, or I go there with you, it just seems like a lose-lose. This relationship is hard to work out." Meski begitu, pada akhirnya Revanda memilih Jeffrey, pria yang telah menemaninya...