Jurnal 2: A Bad First Day

8 8 0
                                    

32

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

32. Zain Rajendra Akmal

Entah penyebabnya kelilipan, atau apapun, gue merutuki diri gue sendiri karena nggak ngeliat nama siapa yang ada di absen terakhir.

"Alakazam buntut ular campur kadal! Apa sih dosa gue kok bisa-bisanya sekelas lagi sama si keling itu?" gerutu gue.

"Yah, padahal gue udah ngarep hidup aman sentosa di kelas 12 ini tanpa wajahnya si songong itu," timpal Alma.

Fix, hidup gue nggak akan seindah ekspektasi di kelas 12 ini.

"Wah, Huluk. Sekelas lagi sama kita, yhaaaa...?" tanya Kiky dengan raut dan intonasi mengejek.

Gue nggak nanggepin sama sekali ocehan mereka dan langsung duduk nyari bangku. Karena gue telat masuk ke kelas, bangku idaman kebanyakan siswa, terkecuali si paling ambis, alias bangku paling belakang udah keisi semua. Sebuah dengusan keluar dari bibir gue kala gue kepaksa harus duduk di depan, persis kayak di kelas 11 dan fix, bakal begitu sampe tamat. Kenapa? Karena meskipun guru udah nggak lagi ngatur posisi duduk kita, orang-orang itu udah keburu nyaman dengan posisi duduknya dan nggak mau buat pindah.

Gue ngelempar ransel gue ke kursi di samping Citra, di bangku depan pojok yang deket dengan dinding plus pintu. Ternyata nggak seburuk kelas 11, di mana karena telat, gue sering dapat tempat duduk sisa di bagian depan, dan di tengah pula. Alhasil, gue sering disorakin sama yang duduk di belakang buat nunduk setiap kali harus mencatat tulisan di papan tulis.

"Gue sebangku sama lo aja, Cit!" putus gue.

"Lah terus gue duduk dimana?" tanya Alma sambil mencebikkan bibir mungilnya.

"Deket Ella kayaknya masih kosong tuh Al," usul Citra sambil menunjuk bangku di sebelah Ella yang tengah berbicara bersama dua orang perempuan di belakangnya, yang setau gue namanya Adin, dan Hanum, teman sebangkunya.

"Jahat lo, Dira! Gue yang sebangku sama lo dari kelas 11 sekarang ditinggal!" kesal Alma.

"Maaf, Al. Tapi maksud gue sama sekali nggak gitu. Kalau gue duduk persis depan papan tulis, kasian yang belakang karena kehalang sama badan gue," kata gue beralasan. Bukan nyari-nyari alasan biar nggak sebangku lagi sama Alma, tapi ya seenggaknya gue nggak mau nyusahin orang nantinya.

Alma tersenyum. "Iya juga ya. Nggak apa-apa deh, gue paham alasan lo," kata dia.

"Nggak apa-apa kok, Al. Ella itu kan sohibnya bestie gue dulu di SMP. Makanya gue kenal sama dia. Yaaah… kenal gitu aja, tapi dia baik kok, anaknya," kata gue menenangkan Alma karena paham sama sifat aslinya yang memang canggung dan susah buat berbaur sama orang baru, walaupun seenggaknya untuk sekadar kenalan.

Jurnal Si Nona Hulk [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang