"Kalau yang ini, bukunya pernah jadi buku paling berbahaya pada zamannya. Semua orang yang baca buku ini pasti ditangkap, kalau ada penangkapan yang diambil bukan emas, uang, atau harta benda berharga lainnya yang bisa dijual dan ada keuntungan besar. Tapi buku-buku ini yang dibawa."
"Kalau sekarang udah nggak ya?"
"Nggak."
Langkah kami berhenti di depan rak buku berukuran sedang, lebih tepatnya atensiku jatuh pada deretan buku yang memiliki cover cokelat, merah dan hitam. Aku kira ini semacam buku rahasia dunia atau buku-buku yang isinya mengerikan, namun ternyata buku-buku ini isinya tentang pemikiran tokoh-tokoh terdahulu dan cerita fiksi yang disebut fiksi pun sepertinya tidak termasuk fiksi.
"Kamu masih sering baca semuanya, Ash?" tanyaku tanpa menatap lelaki yang berada di sampingku.
"Masih, kalau pusing sama tugas larinya baca ini." Jawabnya.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala sambil terus melihat-lihat judul yang berada di bagian samping buku, hingga tak sadar lelaki di sampingku sudah berpindah tempat.
"Kalau kamu suka, ambil aja Ge. Tapi jangan lupa dibalikin." Ucapnya diakhiri kekehan pelan.
Aku hanya membalas dengan tawa ringan lalu bangkit dari dudukku, berjalan mendekati lelaki yang kupanggil Ash itu sambil menenteng tas berisikan laptop dan buku catatan kecil bekas kuliah tadi pagi.
"Kamu dapat buku-buku itu dari mana? Aku udah jarang liat buku-buku itu di toko." Tanyaku lalu duduk di sampingnya menghadap taman yang tepat berada di luar kamarnya. Ah, kami duduk menghadap ke arah jendela jadi bisa melihat bagaimana taman yang berisikan buka mawar dan lily.
Ash menatapku sekilas lalu ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar, "Mas Biru dulunya aktivis kampus, Ge. Nggak tahu memang kultur atau sebuah kewajiban, mereka sering baca buku-buku aliran sana. Kalau kamu lihat, dua bagian yang ada di tengah itu rak bawahnya penuh sama buku-buku filsuf yang kalau aku baca aja harus diulang berkali-kali. Terus aku ngerasa sayang aja kalau bukunya dibuang, jadi aku simpan mengingat ketiga kakakku lainnya kurang suka baca buku jadi ya...aku aja yang simpan." Jawabnya.
Aku mengangguk lagi, Ash pernah bercerita soal keempat kakaknya meski singkat beberapa kebiasaan mereka aku masih ingat, dan yang paling mirip dengan Ash itu kakak pertamanya. Mas Biru, yang katanya paling galak dan nggak toleransi kesalahan sekecil apapun karena beliau punya zodiak virgo, begitu kata Ash. Budak zodiak padahal sendirinya sering marah kalau diejek punya pacar banyak akibat zodiaknya gemini.
"Mas Biru keren ya, Ash." Ucapku ketika sekelebat bayangan tentang Mas Biru lewat begitu saja.
Ash berdecih ketika mendengar ucapanku, "Masih keren aku." Elaknya tak mau kalah.
Aku hanya tertawa mendengar hal itu, Ash dan Mas Biru seperti musuh bebuyutan dan yang lebih memperlihatkan kebenciannya hanya Ash mengingat Mas Biru pun sudah menikah dan aku sendiri belum pernah bertemu Mas Biru secara langsung.
"Iya deh, saking kerennya kamu punya pacar sepuluh ya?"
"Terus aja terus, siapa juga yang punya pacar. Aku tuh belum pernah pacaran sama sekali, kamu jangan ikut-ikutan kemakan fitnah zodiak deh." Gerutunya kesal.
Aku tertawa sejadi-jadinya ketika Ash mulai marah, benar 'kan lelaki di sampingku ini paling nggak suka zodiaknya disebut-sebut zodiak yang punya banyak pacar. Hingga tawaku berhenti ketika ponsel yang berada di saku celanaku berdering menunjukkan notifikasi dari Sam ; kekasihku, sedang berada di perjalanan menuju rumahku.
"Ash, aku pulang dulu ya? Pacarku udah ngabarin lagi di jalan mau ke tempatku. Bukunya aku pinjam, dua minggu lagi aku kembalikan." Ucapku lalu bangkit dari duduk.
"Sam?" tanya Ash memastikan.
"Iya lah, emang pacarku siapa lagi." Jawabku sewot.
Ash terkekeh melihat reaksiku, dasar menyebalkan!
"Mau aku antar nggak? Udah sore, mendung juga." Tawarnya. Ah, Ash yang baik hati. Namun aku menolaknya, tahu betul kalau Ash sudah mampir ke rumah pasti lelaki itu enggan untuk pulang dengan sejuta alasannya agar tetap berada di rumahku hingga larut malam.
"Hari ini aku mau pacaran, kamu jangan ganggu aku!" ucapku dengan galak.
Ash mendelik kesal lalu ia ikut bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah lemari, mengambil payung lipat berwarna biru yang disimpan di samping lemari bajunya.
"Nih." Ash memberikan payung itu dan membuatku menatapnya kebingungan.
"Bawa payungnya, kamu harus jalan ke depan buat ketemu sama angkot. Takutnya hujan, nanti kamu pakai payungnya." Ucap Ash menjelaskan tujuannya memberikan payung biru itu.
Setelah mendengar tujuannya memberikan payung, aku segera mengambilnya dan memasukkan ke dalam tas dengan senyum yang sumringah tentunya. "Terima kasih sahabatku yang paling baik! Aku pulang dulu ya, tolong makalahnya dikerjakan. Daaah!" Aku keluar dari kamar Ash dengan langkah yang sedikit terburu, takut Sam sudah sampai di rumahku.
"Hati-hati Ge!"
Samar aku mendengar Ash berteriak dan aku hanya menjawab dengan acungan jempol saja lalu berlari kecil untuk menuju ke luar komplek perumahan Ash, takut ketinggalan angkot.