Bab 1
"Lo jadi daftar di Limo Karya?"
Belum juga Tina duduk di kursinya, Joe-rekan yang duduk di depannya-malah mempertanyakan hal yang nggak haram ditanya saat lagi jam kerja. Dia meletakkan tas Jansport di atas meja. Boro-boro bisa beli Kate Spade, dia harus berhemat sampai kerjaan tahun ini jelas.
Begitulah kerja di dunia konsultan. Ada kerjaan syukur, nggak ada kerjaan wasalam. Mana kalau jadi staf biasa, gaji bulanan itu cuma cukup menghidupi kehidupan sehari-hari. Kalau mau liburan nunggu bonus tahunan dulu. Itu pun kalau bonusnya dibagikan tepat waktu dengan libur panjang.
"Jadi," jawabnya singkat, meski matanya melotot ke arah Joe. Ini anak nggak ada rasa bersalahnya nanya pertanyaan sakral begitu!
"Santai kali. Nggak ada orang ini," seloroh Joe. Si paling santai.
Tina memutar bola matanya. Dia males banget kalau apa-apa ngasih tahu Joe. Kemarin dia secara terbuka bilang ke Joe kalau dia apply di Limo Karya agar Joe bersiap-siap kalau dia keterima dan nggak ada partner buat kerjaan mereka, yang mudah-mudahan ada tahun ini. Tapi bak bendungan bocor, Joe malah ngomong cas cis cus! Untungnya rekan yang lain nggak ada di ruangan.
"Lo bisa nggak, sih, nggak nanya begituan kalau lagi di kantor?" Kesal Tina. Pagi-pagi bawaannya udah sensi karena tadi sempat menghadapi macet yang sangat panjang.
Joe malah membela diri. Laki-laki yang sekarang mengenakan hoodie hitam itu memang biasanya nggak tahu rasa bersalah. Udah hafal banget Tina kelakuan Joe karena mereka selalu satu project selama ini. "Cuma nanya."
Tina menyalakan komputernya. "Emang siapa sih Joe yang mau bertahan di sini? Gaji masih nggak jelas, proyek syukur kalau dapat. Transport aja udah naik dua rebu! Gue cek ojek online udah nggak ngotak pas jam sibuk. Kalau gaji udah bisa nutupin kebutuhan sama capek mah mending ... ini masih nunggu kepastian. Lo nggak capek tiap awal tahun begini mulu?"
"Capek, sih," jawab Joe sekenanya.
Tina memangku dagunya dengan tangan, dia membuka beberapa file yang nggak penting. Lelang proyek belum jalan. Delay. Mereka belum akan ada kerjaan seenggaknya sampai sebulan ke depan. Jadi dia mutusin buat buka job portal, nyari-nyari kerjaan baru. Siapa tahu nyantol.
Dia bisa say bye sama kantor ini lebih cepat.
"Gue juga mau nyari kerjaan ah!" Celetuk Joe ringan.
Tina nggak menanggapi. Dia hanya melempar lirikan singkat dari balik komputer. Joe udah puluhan kali ngasih statement yang sama kalau Tina ngaku lagi nyari kerjaan baru tetapi kenyataan laki-laki itu masih duduk di depannya.
Joe tiba-tiba muncul dari celah komputer mereka. "Lo kenapa nggak ada khawatir-khawatirnya gue pindah?" Tanya Joe dengan nada heran.
"Ngapain gue khawatir?" Tina membalas. "Bagus, dong kalau lo udah nggak di sini. Udah empet juga gue lihat wajah lo." Gadis itu tersenyum lebar. Kadang Joe itu membawa segalanya ke perasaan. Dia masih belum bisa menguasai ketawa karier. Segala hal bisa dibawa personal sama dia, bikin Tina dan lainnya kepingin mulu ngerjain ini anak.
"Jujur banget. Benci gue," balas Joe nggak terima.
Tina semakin tertawa ngakak. "Ya, semoga kita berdua bisa segera resign dari kantor toxic ini."
"Gaji gue belum masuk," Joe mengeluh. "Udah gue tanya Minara ... besok ... besok mulu!"
"Coba lo tanya pake cium tangan, siapa tahu dia luluh." Tina menjawab tanpa berpikir.
"Bajingan mulut kamu, Tina."
"Lagian gue saranin lo temuin dia, malah lo chat-chat terus! Hak lo tuh diperjuangin Joe. Mentang-mentang nggak butuh gaji!" Dumel Tina gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Hours
RomanceKalian tau nggak sih, ada istilah work spouse atau pasangan di kantor? Kalau Tina sih, punya! Tina dan Joe sama-sama mengakui bahwa mereka partner yang ideal. Mereka nyaman bekerjasama dan berteman. Meski selalu terlibat drama kerjaan akhir tahun, p...