Office Hours - 3

859 152 5
                                    

Office Hours - 3

Tina dan Joe baru aja menyelesaikan meeting dengan Mr. Reynold. Keduanya tampak udah nggak punya energi buat melanjutkan hidup. Tina lebih-lebih lagi. Dua jam perdebatan, notabene diskusi, dia memimpin satu setengah jamnya. Sedangkan Joe ketar-ketir buka file yang cukup nggak mereka ketahui. Namanya juga mengerjakan jobdesc orang lain. Wajar saja kalau eksekusinya agak-agak hancur.

Kalau udah nggak bisa lagi ngelobby Mr. Reynold, Tina paling-paling cuma jawab, "Nanti kita diskusikan lagi sama Project Manager ya Pak." Memang diskusi dengan bos adalah kata-kata paling menenangkan kalau udah mau mati kutu.

"Capek banget gue," keluh Tina dan dia mengeluarkan napas kasar. "Udah tahu Mr. Reynold itu pengalaman kerjanya lebih dari dua puluh tahun, berhadapan sama kita yang baru jadi cecunguk. Ya ... gimana ya? Kadang gue heran sama bos-bos kita. Sembarangan banget atur-atur kerjaan! Gini nih yang gue malesin dari dulu. Manjemennya amburadul."

Omelan Tina udah nggak tertahankan lagi. Hanya satu hal supaya dia nggak gila dalam pekerjaan, ngomel. Mengeluarkan keluh kesahnya. Memang kalau kerjaan lagi banyak-banyaknya ... lebih mending waras daripada jadi yang terbaik.

Joe nggak banyak menanggapi. Energi dia juga udah habis. Bahkan, niat untuk menjahili Tina seperti biasa aja udah nggak ada. Dia cuma beres-beresin laptop. Nanti malam Joe berniat ngumpul dengan teman-temannya untuk refreshing.

"Jadi kangen Bang Afif gue," seru Tina akhirnya. Sejak Afif pindah ke kantor sebelah, satu-satunya yang bisa dikatakan Tina adalah betapa rindunya dia dengan Afif yang bisa menghandle semua pekerjaan. Walaupun kayaknya mantan bosnya itu juga agak-agak mau gila.

"Resign ah," imbuh Tina lagi tanpa berpikir.

Joe mulai menanggapi, "Akhir-akhir ini lo gampang banget ngomong resign? Udah mulai daftar kerjaan baru ya?" Tuduhnya. Pasalnya, mereka udah janji berdua kalau salah satu may resign harus mengabarkan lebih dulu. Mau gimana lagi? Beban kerjaan salah satu dari mereka pasti akan otomatis berpindah pada yang bertahan.

"Belom. Interview kemarin gue nggak datang karena kita lagi padat-padatnya. Gimana mau nyari kerjaan? Pulang-pulang gue cuma bisa tidur. Capek banget gue sama Ilman!" Keluh Tina. Satu minggu belakangan karena kelimpahan tugas orang lain terus, Tina makin-makin gondok dengan Ilman.

"Ya namanya juga masih adaptasi, Tin. Sabar, dong," Joe berusaha realistis.

"Mau adaptasi sampai kapan? Udah berapa bulan ini?"

Tina kayaknya memang lagi dipuncak-puncaknya gedeg sama Ilman. Apalagi tadi ada harga diri yang berusaha dia pertaruhkan saat berdebat dengan Mr. Reynold. Dia berniat buat speak up setelah ini. Bukannya Tina suka mengeluh, tapi ... gimana ya? Haduh! Dia sendiri juga bingung memikirkan solusi atas amburadulnya dan overload-nya pekerjaan mereka.

"Yang gue heran," Joe menatap Tina lurus. "Awal tahun kayaknya kita santai banget kayak nggak ada kerjaan. Malah gue khawatir kena lay-off saking nggak ada dana. Tapi makin ke sini, kerjaan kok ya datang terus?"

Tina masih gondok abis. "Ilman itu! Nggak bisa nolak kerjaan dari Eren!" Kalau Tina usah kesal, boro-boro sopan santun, mengatur nada bicara agar nggak nge-gas aja susahnya minta ampun. "Gue udah bilang dari minggu kemarin kalau Pak Eren tuh ambisius! Dia iya-iya aja! Nggak lihat apa kita masih kurang orang?" Tina benar-benar mengeluarkan isi hatinya. "Sekarang, satu orang pegang dua sampai tiga project! Apa nggak sakit tipes abis ini?"

"Ya udah, lo mau refreshing ke mana gitu? Kayaknya lo lagi nggak baik-baik aja."

"Ya, memang."

Joe terkekeh. Apalagi melihat Tina udah mulai mengusap sudut air matanya. Bertahun-tahun bekerja sama dengan Tina, Joe udah hafal betul dengan luapan emosi Tina kalau lagi dipuncak-puncaknya. Perempuan itu pasti nangis. Dan dia nggak bisa melakukan apapun selain menenangkan.

Office HoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang