Office Hours - 4
Sejujurnya, Tina udah memikirkan hal ini semalam suntuk. Reaksinya memang terlalu berlebihan kemarin kepada Joe, yang mungkin berpikir bahwa hal yang dia ungkapkan itu hanyalah persoalan sepele. Bagi Joe begitu. Sayangnya bagi Tina kemarin, apa yang diungkapkan Joe begitu fatal hingga membuat emosinya nyaris meledak. Dia pergi meninggalkan pemuda itu karena tahu bahwa Tina nggak mungkin bisa mengontrol diri lebih lama.
Kalau dipikir-pikir lagi, emosi Tina kemarin juga lagi nggak stabil dan lagi jengkel-jengkelnya sama hidup. Apesnya, Joe juga menambahkan —dalam penglihatan Tina—masalah sehingga perempuan itu langsung menembaknya dengan peluru emosi.
Ketika Tina bangun tidur dan menyadari Joe semalaman berusaha meminta maaf kepadanya, Tina kembali berpikir bahwa mereka tak sebaiknya ada urusan pribadi, apalagi masalah, mengingat posisi keduanya selalu menjadi partner.
Tina mengalah dan meski memang berniat menghindari Joe, perempuan itu menjawab, "Santai aja," saat Joe mengajaknya berbicara saat ada kesempatan. Seharusnya jawaban itu sudah mengindikasikan bahwa Tina udah nggak tersinggung-tersinggung banget karena fakta Joe menyeretnya menjadi pelakor kemarin.
Mungkin jalannya memang begini.
Sayangnya, skenario itu memang berada dalam pikirannya. Nyatanya, aksi Tina malah sebaliknya. Gadis itu hanya diam sepanjang waktu di kantor. Dia hanya fokus menyelesaikan pekerjaannya. Sesekali keluar bersama Nela untuk membeli kopi seperti siang ini.
"Keadaan nyokap lo gimana?" Nela membuka percakapan sembari menunggu kopi yang mereka pesan jadi.
Tina menjawab singkat. "Dokter di sini menyarankan buat pasang dua ring. Gue dan Bapak masih belum yakin. Jadi bulan depan kita ada rencana untuk bawa Mama ke Penang. Dulu, nyokap juga membaik setelah berobat ke sana."
Nela mengangguk-angguk. Hanya Nela yang mengetahui kondisi keluarganya saat ini. Dulu Tina pikir di tempat kerja nggak perlu ada teman yang sebenar-benarnya teman. Maksudnya, semua orang di tempat kerja itu adalah rekan kerja. Bukan teman. Teman mengetahui sisi pribadi teman lainnya. Selama ini, Tina juga hanya menganggap orang-orang di kantornya sebatas rekan kerja. Namun seiring berjalannya waktu, kedekatan Nela dan Tina bukan lagi soal pekerjaan melainkan pada hal-hal pribadi yang nggak diketahui banyak orang.
Seperti kondisi Mamanya saat ini, yang sudah beberapa tahun divonis kelainan pada katup jantung.
"Lebih hemat budget juga kalau di Penang sih." Nela menampali.
Tina mengangguk setuju. Fasilitas kesehatan di Penang memang lebih menjanjikan daripada rumah sakit di dekat rumahnya. Adapun rumah sakit di Jakarta malah mahalnya minta ampun, meski ada asuransi yang meng-cover. Tetap saja, ada kejadian-kejadian yang nggak bisa dibayar full asuransi di sini.
"Dan, Mama lo masih rese nanyain lo kapan kawin?" Nela membuka pembahasan. Sudah lama sekali mereka nggak membicarakan masalah percintaan Tina, yang terakhir kali amblas total karena perbedaan jarak.
Tina sendiri juga jarang dekat dengan orang lain.
"Masih. Masih bawa-bawa umur juga," timpal Tina, mendadak kesal. Sejak Mamanya menjadi menyebalkan dan menyuruh-nyuruhnya segera menikah, hubungan Tina dan Mamanya berjarak dan semakin lama semakin berantakan.
"Bilang dong, lebih baik gagal mau menikah daripada gagal setelah menikah," Nela terkekeh. "Aduh mana banyak banget kasus menyeramkan saat ini."
Tina memilih nggak menanggapi. Usianya baru dua puluh sembilan tahun lewat dikit, mau tiga puluh, belum mencapai apa-apa dan nggak punya pasangan. Kalau patokannya standar timeline orang Indonesia, udah pasti Tina masuk kriteria gagal menjadi perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Hours
RomanceKalian tau nggak sih, ada istilah work spouse atau pasangan di kantor? Kalau Tina sih, punya! Tina dan Joe sama-sama mengakui bahwa mereka partner yang ideal. Mereka nyaman bekerjasama dan berteman. Meski selalu terlibat drama kerjaan akhir tahun, p...