00. Senja yang hilang di dirinya

13 2 0
                                    

Bandung, 31 Desember 2022

Praya.

Sudah genap dua puluh enam kali musim berganti.

Hampir lewat dua puluh tujuh kali, senja sudah nggak lagi indah di mata gue.

Bukan karena senja kehilangan seluruh kadar kecantikannya, bukan juga karena senja kehilangan eksistensinya. Tapi karena senja telah kehilangan separuh warna oranye yang ia titipkan kepada gadis ceria itu.

Bunga matahari yang selalu mekar di setiap bulannya kini sudah mati. Enggak, bukan berarti semua bunga matahari yang ada di penjuru negeri ini mati, tapi cuma bunga matahari yang berada tepat di samping toko buku langganannya yang mati.

Menurut lo, tuhan itu adil?

Menurut lo, tuhan tahu rasa sakit yang selama ini kita rasakan?

Menurut lo, apa tuhan menyayangi seluruh hambanya?

Dan menurut lo, apa tuhan sekali aja dapat melihat luka lebam di sekujur tubuh kita?

"Praya, kamu tau gak? Kesempurnaan itu nggak akan bisa kita cari dan kita dapatkan begitu aja. Kita harus terbiasa akan rasa sakit yang selama ini kita terima. Perkataan buruk mereka tentang kekurangan kita, misalnya. Jadi kalo hari ini kamu masih gagal... Ya nggak apa-apa! Luka-lukamu itu akan berubah menjadi sebuah kesempurnaan yang nggak akan bisa kamu kira sebesar dan seluas apa."

Ya, gue terus hidup dengan kenangan yang seolah-olah ia juga ikut hidup, sebisa dan semau mereka.

"Kalau suatu saat bulan dan bintang nggak bisa bersama, gimana?"

"Ya kita buat mereka agar bisa bersama lagi."

"Gimana caranya?"

"Membuat bintang baru."

Jutaan bintang telah meledak dan menjadi butiran-butiran kerikil yang sudah nggak berguna. Bulan mati, sebutnya. Mereka telah lama mati dan diganti oleh bintang baru yang sangat terang melebihi bintang sebelumnya.

Namun bagaimanapun keindahannya, bintang baru tetaplah bintang biasa tanpa mempunyai makna yang mendalam. Bintang baru telah kalah melawan bintang mati.

Kenapa bisa seperti itu?

Karena bintang mati adalah bintang yang pernah menghiasi langit yang ditatap oleh sekaligus dua anak manusia. Sedangkan bintang baru, ia hanya di tatap oleh salah satu dari keduanya.

Gak ada jaminan kalau salah satu dari mereka sedang menatap langit yang sama.

"Kamu mau janji nggak?"

"Janji apa?"

"Janji kalau suatu saat nanti setelah usai kita pulang dari bepergian jauh, kita sama-sama sempatkan waktu untuk duduk di taman ini. Bicarakan tentang bagaimana caranya angsa bisa berenang dengan begitu lihainya, tentang bagaimana caranya pohon ek tetap tabah meski hidupnya selalu ditempeli benang putri atau bicarakan hal apa saja yang telah terjadi sewaktu kamu lagi nggak bersamaku.."

"Kamu... bisa berjanji?"

Bertahun-tahun setelahnya, gue menepati janji.

Tapi, dia nggak.

***

Bandung, 31 Desember 2010

Lula.

Langit terlihat biru sempurna. Aku mendongak, melihat bekas lintasan roket yang baru saja dua menit yang lalu berjalan dengan tergesa-gesa disana lewat jendela kecil di dalam ruangan putih ini.

Aku menyukai roket, sampai terkadang aku ingin mencetuskan ide untuk menciptakan roket yang bisa saja berjalan di darat. Tapi ketika aku melihat roket itu melintas di atas kepalaku, aku membencinya.

Mungkin alasan aku gak menyukainya lagi, karena mereka sengaja menerbangkan roket untuk membuat lintasan itu agar aku bisa berjalan dengan mudah ke langit ketujuh dan gak punya alasan lagi untuk tetap bertahan di dunia.

Menurutmu seperti apa surga?

Dan menurutmu, seperti apa neraka?

Kata mereka surga itu indah dan neraka itu kejam. Kata mereka pun, setiap manusia pasti berakhir di salah satu tempat itu. Tapi menurutku, aku gak akan masuk ke surga ataupun neraka.

Aku bukan malaikat yang mempunyai sayap indah dan hati yang begitu lapang untuk memaafkan seseorang. Aku juga bukan iblis bertanduk, bertaring tajam dan hati yang sekeras batu. Aku bukan keduanya.

Jadi nanti, aku akan memilih untuk membiarkan jiwaku terombang ambing terbawa angin. Entah ke langit ketujuh, atau ke masa lalu. Karena aku percaya tuhan itu baik.

Namun sebelum aku benar-benar melepaskan jiwaku terbang bebas, ada satu hal yang harus aku selesaikan.

"Nata, tolong sampaikan ya?"

"La, dia berhak untuk tau keadaan lo sekarang."

"Aku nggak mau ngerepotin dia, Ta. Aku nggak mau lihat dia hidup dalam penyesalan seumur hidupnya. Dia harus tetap hidup dengan segala mimpi-mimpinya, banyak hal yang harus dia lalui."

"Buka mata lo, La. Bisa aja dia akan membenci lo seumur hidupnya."

Aku tahu, dalam hitungan menit jiwaku akan benar-benar terbang bebas. Aku tahu hal itu karena aku bisa melihat malaikat yang sudah siap sedia untuk menyapaku sesukanya.

"Nggak masalah, La—" Pada kalimat terakhir, aku meremas bajuku sekuat tenaga, "kalau dengan cara seperti itu dia akan melupakanku."

•••

memo(we)riesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang