Yuli begitu gelisah, malam ini dirinya tidak bisa tidur, bahkan menutup mata pun enggan. Ucapan ayah Kia terbayang-bayang di pikirannya, hanya keresahan yang menemaninya di keheningan malam. Ia meraih ponsel hendak menghubungi seseorang, tapi niatnya ia urungkan, takut mengganggu waktu tidur wanita itu, iapun hanya mengirim pesan singkat. Kemudian kembali membaringkan tubuh di atas kasur, menatap langit-langit kamar dengan kekosongan.
-----
.
*Sebuah pernikahan butuh persetujuan dua belah pihak, menjalaninya juga butuh kerja sama. Lantas bagaimana jika tidak keduanya?*
Bagaimana jadinya pernikahan itu?
ⴰ
Pernikahan adalah impian semua wanita, tapi tidak bagi wanita yang menatap dirinya di pantulan cermin, melihat pakaian khusus yang ia kenakan baju bodo, seharusnya menjadi lambang kebahagiaan bagi masyarakat Makassar, tapi tidak bagi dirinya.
Mata indah itu sudah mulai berkaca-kaca, rasa sesak di dada menerjang, helaan napas berat berulang kali ia lakukan, agar ia menerima lapang dada. Namun, tidak, ia kian sesak. Bagaimana dengan sekolahnya, bagaimana dengan mimpinya?
Sekelebat ingatan terputar ke beberapa tahun silam.
"Sayang, sekolah yang benar, tumbuh besar jadi anak yang berbakti, sukses, yang bisa membanggakan Orang tua."
Tangan besar itu mengelus lembut rambut seorang gadis kecil berusia 10 tahun, mata gadis itu bagaikan biji saga, deraian air mata itu begitu deras di atas pelukan seorang wanita setengah baya yang keadaanya sudah sangat kritis, hingga berpulang ke yang maha pencipta.
"Ibu!" ucapnya dengan suara bergetar.
Andaikan sang ibu masih di sampingnya, ia tidak akan menempuh jalan ini, ia tidak akan menikah sedini ini. Bagaimana dengan wasiat ibunya, sayang, ia tidak bisa mewujudkan semuanya karna keadaan.
Ia sudah cukup menjadi anak yang berbakti.
Tanpa terasa air matanya terjatuh membasahi pipi yang telah di rias itu, berali menatap keluar jendela, berharap angin menerpanya, agar hatinya sedikit tenang.
Menikah itu sederhana, pelaksanaanya juga hanya membutuhkan waktu satu sampai dua hari saja, tapi menjalaninya butuh seumur hidup, bagaimana jika dirinya tidak mampu, akan banyak hal yang akan dia tempuh, akan ada kejutan-kejutan yang ia belum tahu kedepannya.
Menikah juga tidak mengerikan jika dibekali pikiran yang dewasa, kesiapan yang matang, serta usia yang tepat.
Banyak hal yang bersarang di pikirannya, hingga sebuah pintu terdengar di buka.
"Kamu sudah siap, mempelai pria telah datang!"
Siap? Bahkan dia tidak kepikiran sedikit pun, bagaimana dia bisa siap.
"Ayo, ikut Ayah keluar!"
Ucapan itu terasa begitu menyesakkan, memilukan bagi dirinya.
Dia hanya patuh, mengikuti kemana takdir akan membawanya. Bicara pun percuma, kini telah sia-sia.
Hingga dia telah duduk di samping pria asing yang tidak pernah ia kenali sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Widow
Teen Fiction"Gue bakal nikah!" "What the fuck? Menikah diusia 17 tahun! Lo gila?" Tentang pernikahan dini, yang berakhir perpisahan dini pula! ⵿ "Lo baik, bijak, lo sempurna!" "Pasti banyak yang bakalan suka sama lo, contohnya gu...