#NAD_30HM2023
#Hari_ke_5
#nomorabsen_180
Jumlah kata:Judul: Sebuah Meja dengan Empat Kursi di Sudut Kafe dan Rahasia-rahasianya.
Kata Kunci: Matang
Kafe "Life &Latte" terletak di kawasan perkantoran di kawasan Pondok Indah yang strategis. Hanya beberapa ratus meter dari pintu tol Lingkar Luar. Kafe itu berada di samping gedung Bank Kota, sehingga tak jarang para karyawan perkantoran menjadi pelanggan tetap kafe ini.
Aku, meja no 12A, berada di sudut paling jauh dari pintu masuk. Di sampingku tidak ada jendela kaca lebar sehingga siapa saja yang duduk di hadapanku, tidak akan terlihat dari luar. Posisiku inilah yang membuat aku banyak mendengar berbagai rahasia. Yang tak jarang diungkapkan sambil berbisik, tergagap cemas, atau dalam tangisan. Aku dan keempat kursi sahabatku, pun menjadi saksi bisu dari berbagai kejadian yang dibagikan oleh tamu kami diantara secangkir kopi atau segelas es teh manis yang terhidang.
Sebagian besar kejadian di hadapanku berlalu begitu saja. Tak lagi kuingat. Hanya beberapa saja yang bisa kuceritakan kembali kepadamu.
Salah satunya, kisah Sabtu pagi kemarin.
Pagi itu, seorang pria paruh baya duduk dengan tenang di hadapanku. Wajahnya yang mulai berkerut dan helaian rambutnya yang abu-abu, mengungkapkan pengalaman hidupnya yang matang. Ia memesan secangkir kopi hitam dan menyeruputnya perlahan, seakan menikmati setiap tetes cairan tertuang dalam setiap tegukan.
Kopi di cangkir lelaki itu sudah hampir habis, ketika dua orang mendekat. Seorang wanita muda dan lelaki sekitar 35 tahunan.
"Duduk, Lis, Hen ..." pria paruh baya itu menarik kursi di sisi kirinya untuk Lis. "Macet, ngga?"
Hen memilih duduk di hadapan pria itu.
"Lumayan, Pak. Tadi sedikit tersendat di Fatmawati," jawab Lis.
"Oh, biasa itu. Memang nyaris setiap pagi agak macet di situ. Kecuali MInggu pagi. Kalian mau pesan apa?" Lelaki paruh baya melambai pada Diah, yang bertugas mencatat pesanan.
Lis memesan teh Camomile dan roti bakar, sedangkan Hen memesan kopi dan telur setengah matang.
"Kau masih sering memakan itu?" Lis bergidik.
"Daripada aku menenggak vitamin sintetis. Apalagi sudah dua malam aku kurang tidur," sahut Hen.
"Jadi, apa laporan kalian?" Lelaki paruh baya itu menyela.
Lis dan Hen buru-buru mengeluarkan kertas-kertas dari dalam tas mereka, lalu menyerahkan kepada lelaki paruh baya itu. Namun, kertas-kertas itu hanya dibacanya sekilas.
"Hasil rapat dengan Enigma Corp kemarin sore, mereka setuju untuk menjadikan kita sebagai sole distributor mereka di Asia Tenggara, Pak. Tetapi mereka mensyaratkan kita menyewa gudang di Singapore."
"Ah! Aku tidak setuju! Terlalu tinggi biaya sewa gudang di sana."
"Saya pun mengatakan begitu. Tetapi mengusulkan pada mereka, kita bisa menyewa di Batam," Lis menyambung kalimatnya.
"Bu Monik mengatakan, bahwa kita bersedia mendirikan kantor cabang di Medan, jika Enigma menyerahkan juga produknya untuk pangsa perkebunan sawit," Hen menambahkan.
"Aku ikut saja. Monik tentu sudah menghitung dengan cermat. Lalu, apa tanggapan mereka?"
"Melalui video konferensi kemarin, Mr. Saratid merencanakan datang ke Indonesia untuk bertemu Bapak secara langsung. Dia akan menyesuaikan kedatangannya dengan jadwal Bapak."
Lelaki paruh baya itu mencubit-cubit bibir bawahnya saat berpikir.
"Rabu pekan depan, kalau begitu. Pesan tempat di Orient8 saja."
"Jam berapa, Pak?"
"Jangan terlalu siang. Biar bisa sekalian makan siang di sana setelah rapat."
"Jadi, saya akan memesan tempat di Orient8, Hotel Mulya, untuk hari Rabu pekan depan, jam 11?" Lis mengkonfirmasi. Setelah lelaki paruh baya itu mengangguk, Lis mencatat di buku agendanya.
"Ada berita lain?"
"Mr. Jaques dari McDermott, mencari Bapak kemarin. Beliau menelpon ke kantor beberapa kali." jawab Lis.
"Ah, orang itu. Bolak-balik mau minta diskon. Padahal pembayaran mereka sudah kukasih term 90 hari, sekarang. Lama-lama bisa bangkrut kita kalau mengikuti kemauan mereka. Kalau dia menelpon lagi, suruh Monik saja menjawab!"
"Baik, Pak."
Lis dan Hen serentak mengangguk.
"Ada lagi?"
"Sementara itu saja, Pak," jawab Hen.
"Oke. Kau boleh pulang duluan, Hen. Aku perlu bicara dengan Lis, sebentar."
Hen segera merapikan tasnya dan meminum habis kopinya. Kemudian dia pamit pada lelaki paruh baya itu.
"Kutunggu di mobil, Lis ..." katanya sebelum pergi. Lis mengangguk.
Setelah Hen melewati pintu kafe, aku dan keempat kursi terkejut dengan sikap LIs yang tiba-tiba berubah.
Sikap perempuan yang setengah menit lalu tampak profesional, kini berubah menjadi kemayu. Lelaki paruh baya yang tadi tampak berwibawa, sekarang bersikap seperti remaja yang tengah kasmaran.
Bangku di sisi kanan pura-pura akan muntah saat melihat mereka saling menggenggam tangan.
"Hari Rabu depan, kau jangan lupa sekalian memesan kamar di Hotel Mulya, ya, buat kita ...."
"Aku juga sudah berpikir begitu, Mas."
"Tapi ingat, jangan memakai akun perusahaan. Nanti ketahuan auditor."
"Pasti, Mas. Aku ngga mungkin lupa."
Lalu Lis meraih tas tangannya. Dia mengeluarkan tiga buah kartu kredit dari dompetnya.
"Tapi limit kartu-kartu kredit ini sudah mau habis, Mas. Kan, dipakai waktu kita rapat ke kantor Total di Paris."
"Apaan ..." Lelaki itu menjentik hidung Lis. "Aku yang rapat, kamu ke Galeries Lafayette."
Lis tertawa manja.
"Jadi, bagaimana. dong? Kartu-kartu ini sudah tidak bisa dipakai untuk reservasi di Hotel Mulya."
"Ok. Sebentar lagi aku transfer."
"Lebihin, ya, Mas..."
"Iya ...."
"Terima kasih. Aku pamit dulu, ya. Ngga enak dengan Hen kalau dia kelamaan nunggu di mobil."
"Ya. Sana pulang! Tapi sun dulu, dong...."
Andai aku memiliki perut, saat itu aku pasti sudah memuntahkan isinya ketika melihat sepasang manusia yang bagai ayah dan anak itu saling mengecup bibir.
"Dua orang bejad," maki kursi yang berada di samping dinding.
Saat Lis telah meninggalkan kafe, lelaki itu kembali memesan kopi. Sikapnya kembali seperti yang dikesankan ketika dia pertama datang. Lelaki matang yang tenang dan mapan berwibawa.
YOU ARE READING
Sebuah Meja dengan Empat Kurs di Sudut Kafe
Short StoryCerita sehari-hari yang bergulir di sebuah Meja dengan Empat Kursi di Sudut Kafe