#NAD_30HM2023
#Hari_ke_8
#nomorabsen_180
Jumlah kata: 768Judul: Sebuah Meja dengan Empat Kursi di Sudut Kafe dan Rahasia-rahasianya.
Kata Kunci: Seduh
"Jujur, aku tidak suka dengan tugas ini." si Baju dongker mengaduk-aduk kopi dihadapannya dengan putaran pelan. Seolah gerakan itu dilakukan dengan setengah hati. "Perkara seduh-menyeduh aja,jadi begini ribet."
"Gimana lagi." Temannya yang duduk di depannya menanggapi. "Menurut Bos, kopi di sini paling enak. Lebih enak daripada kopi di Kafe Bintang Laut."
"Tapi, malu ngga sih, kita tanya-tanya rahasia dapur kompetitor kita? Lagian, sukur -sukur kalau mereka mau menjawab dan ngga tahu kita dari mana. Tetapi, kalau mereka tahu, bagaimana?"
"Kau kan berharap awal tahun depan akan naik jabatan jadi Store Manager kan?" Si baju dongker mengangguk. "Nah, mosok 'ngarep jadi atasan kita-kita, tapi kerjaan gini doang ngga sanggup ...."
Aku, meja 12 A, memasang kuping imajinerku. Kursi yang diduduki si Baju dongker berbisik. "Aku mencium itikad tidak baik dari kedua tamu kita ini."
"Maksudmu?" Kursi di kiri yang tadinya mulai mengantuk karena sejak pagi tak ada pelanggan yang duduk di atasnya, menjadi antusias.
"Kutebak, mereka bermaksud mencuri rahasia dari kelezatan hidangan kopi kafe Life &Latte ini."
Aku terbahak. "Kau pikir, mereka sejenis Tuan Crab yang terobsesi mencuri rahasia crabby patty-nya Spongebob?"
Diah mendekat ke kedua gadis tersebut. Diah menanyakan apakah keduanya ingin ada tambahan pesanan atau tidak.
Gadis berbaju dongker itu memesan cappucino. "Yang satu ice capuccino, yang satu hot cappucino. Take away, ya, Mbak."
Diah mencatat pesanan, lalu kembali ke konter.
"Yuk, kita bayar." ajak si Baju dongker kepada temannya.
"Loh? Ngga jadi mewawancarai barista sini?"
"Sudah kupikir. Aku tidak akan 'ujug-ujug' tanya macem-macem kepadanya. Tapi aku akan beberapa kali datang, agar mereka familiar dan menganggap aku langganan mereka dulu..."
"Bener, bener ..." temannya mengangguk-angguk. Dengan begitu mereka tidak akan curiga.
Setelah sore itu, kedua perempuan itu sedikitnya seminggu dua kali datang. Dan selalu duduk di hadapanku. Di meja 12A. Mereka tidak lagi berbicara tentang kelezatan kopi di kafe, melainkan beri interaksi dengan pelayan-pelayan dengan akrab. Aku pun jadi tahu nama mereka. Frizka dan Adinda.
"Hai Adi! Kesini deh!" Frizka melambai. Adi, yang baru masuk ke dalam kafe setelah istirahat, menghampiri.
"Gimana dengan tawaran guwe, waktu itu?" Frizka berbisik. "Guwe lihat, lu yang paling berpengalaman. Seduhan kopi lu juga paling oke.
"Gak enak guwe ninggalin Bos gitu aja. Dia udah baek banget ama guwe ...."
"Tapi, palingan di tahun depan, berapa sih, kenaikan gaji lu? 20%-25% udah paling top."
"Iya, sih."
"Nah, Bos guwe nawarin lu kenaikan gaji 200%! Lu bakalan dikasih gaji double dari sekarang. Gimana?"
"Gimana ya...."
"Udahlah, gak usah bimbang. Bulan depan lu udah bisa kerja di kafe kami, koq."
Walau bisik-bisik, kedua gadis itu tampak bersemangat.
"Ngomong-ngomong, lu suka, ya, kopi seduhan guwe itu?" Adi menunjuk ke cangkir di hadapan kedua gadis.
"Yaiyalah ... Kalau guwe ke sini, selalu spesial request kopi hasil seduhan lu."
"Lu mau tahu rahasianya?" Adi berbisik sambil menoleh ke kiri kanannya.
"Apaan?"
"Guwe ngeludahin kopi lu. Dikit. Cuma dua kali." Adi mengedipkan salah satu matanya. Sambil tersenyum manis.
"Hah!" Kedua gadis itu langsung melonjak berdiri. "Sialan!"
Dengan marah, mereka mengguyur sisa kopi di cangkir ke atas kepala Adi.
Tapi Adi malah terkekeh.
"Keluar sana! Jangan pernah ke sini lagi!" Katanya diantara derai tawa. "Guwe ngga silau ama tawaran lu. Guwe ngga akan mengkhianati orang yang percaya ama guwe."
"Jangan sombong lu! Bos guwe bisa dapat barista yang lebih oke dari lu!" Salah satu gadis memaki Adi. Lalu dengan langkah bergegas, keduanya meninggalkan kafe.
Aku dan keempat kursi saling tersenyum lebar. Merasa bangga pada Adi.
"Beneran kafe itu nawarin lu naik gaji dua kali lipat?" Tanya Diah yang ikut menyaksikan insiden kecil di sudut kafe ini.
"Iya. Tapi guwe tolak."
"Gila lu. Kalau guwe, bakalan guwe terima tawaran mereka. Tahun depan, kayak tahun lalu, palingan kita naik gaji 300 ribu doang."
"Ya, ngga tau sih, gimana kenaikan gaji lu nanti. Kalau kata Bos, gaji guwe mau dinaikin dua setengah kali lipat."
"Lu doang atau kita semua?"
"Kayaknya guwe doang."
"Koq, gitu?" Diah melotot protes.
"Yah, lu bilanglah ke Bos, sana. Minta Bos naikin gaji kalian dua setengah kali lipat."
"Emangnya bakalan dikasih?"
"Yah, mana guwe tahu. Dicoba aja dulu. Kali aja berhasil."
"Apaan! Yang ada, guwe bakalan dipecat! Ngadi-ngadi aja lu."
Kembali, aku dan keempat kursi sahabatku saling pandang.
"Yaaah, begitulah di dunia ini. Tak ada yang benar-benar adil. Di kafe ini Adi dianggap salah satu barista yang paling menonjol. Padahal kalau tanpa karyawan yang lain, dia bukan apa-apa." Desah kursi di sisi tembok. "Kayak kita ini. Kita berlima disebut Meja 12A. Kenapa harus 'Meja'? Padahal kalau tanpa keempat kursi, apa akan ada yang mau duduk di sekeliling meja?"
Loh! Koq, mereka jadi curhatin aku?
YOU ARE READING
Sebuah Meja dengan Empat Kurs di Sudut Kafe
Short StoryCerita sehari-hari yang bergulir di sebuah Meja dengan Empat Kursi di Sudut Kafe