.
Juno tidak tau apa gerangan yang bisa membuatnya menjadi sepeduli ini sesaat setelah menemukan ayahnya yang nampak tidak baik-baik saja semenit yang lalu. Ia membawa langkahnya turun ke bawah, memacunya cepat ke arah dapur.
"Bibi, mana makanannya?" Wanita parubaya yang tengah mengupas telur pun menoleh ke arah Juno. Setelah cangkang terakhir dilepas, Pelayan tersebut langsung saja meletakan telur tersebut ke dalam mangkuk bubur yang masih mengepul.
Tak lupa juga pelayan tersebut memberikan dua bungkusan obat penurun demam dan vitamin untuk Juno bawa ikut serta bersamanya. Juno kembali melangkah menaiki tangga, setiap anak tangga yang ia lewati membuat hatinya berdesir, ia kembali berpikir kenapa ia harus melakukan ini semua untuk pria itu?
"Bundamu sedang sakit? Biarkan dia! Kau masih kecil tau apa?!"
Langkah Juno terhenti kala ingatan itu menghujani pikirannya, ia menatap pintu kamar ayahnya yang terbuka dari jauh. Ia tau dulu ayahnya orang yang bejat, lalu kenapa ia harus peduli? Bukankah itu pantas diterima oleh pria itu? Hanya demam saja tidak akan membuat pria itu menghadap Tuhan bukan?
Juno membuang tatapannya, hatinya sudah terlanjur panas saat ini, mengingat semua kelakuan ayahnya pada dirinya serta bunda dan kakaknya. Ia meletakan bubur itu dengan kasar di atas meja pajangan di dekat tangga, dua butir obat ia buang disamping mangkuk bubur tersebut. Tak pikir panjang, ia langsung pergi dari sana menuju kamarnya lalu menutup pintu.
"Persetan, ingin mati atau tidak, aku tidak peduli."
.
Tepat pukul Tujuh malam Juno membuka matanya. Kepalanya sakit karena tidur dengan posisi kurang nyaman dengan durasi yang cukup lama. Ia membawa langkahnya menuruni tangga, rumah nampak kosong entah kenapa rasanya sedikit berbeda dengan biasanya.
Seorang pelayan kebetulan lewat, Juno menatap pria parubaya itu lalu memanggilnya sebelum berlalu ke arah dapur.
"Paman Tyo, kemana bibi Mina?"
Si pria parubaya yang merupakan supir mereka menoleh lalu menunduk pelan. "Oh tuan muda, mereka sedang ke rumah sakit."
"Kenapa?"
"Anu, tuan Jhon masuk rumah sakit tiga jam yang lalu."
Eh?
.
Kalau tau begini Juno lebih baik tidak menanyakan perkara dimana ayahnya berada 15 menit yang lalu, ia jadi sedikit merasa bersalah saat ini. Kalau ia tidak salah ingat, ia sudah 10 kali mengelilingi kamarnya sambil menggigiti kuku jempolnya, aduh pikirannya jadi kacau hanya karena perkataan pelayan tua itu. Ia kini sedang memikirkan apa yang harus ia lakukan saat ini, entah itu menelpon paman Randy selaku adik dari ayahnya atau ia akan berada disini hingga pria tua itu pulang sendiri nantinya.
Tapi sepertinya opsi kedua tidak terlalu singkron dengan kepalanya saat ini, ia bisa di cap anak durhaka jika mengambil pilihan opsi terakhir, meski ia sadar diri sih ia sudah menjadi anak durhaka saat ini. Juno akhirnya memilih opsi pertama, ia mengambil ponselnya di atas tempat tidur lalu menghubungi nomor pamannya dengan malas. Tidak perlu lama, nada panggilan itu berubah menjadi suara dari pamannya.
"Hallo, Juno? Kenapa Nak?"
Juno menghela nafasnya ssebelum berujar; "Jhon dimana?"
Perkataan itu sontak saja membuat pamannya terkejut di seberang sana.
"Hei, dia ayahmu lho, kenapa memanggilnya begitu?" Juno menghela nafasnya sekali lagi.
"Paman jawab saja, dia memang membuatku repot. Dimana dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Selenophile Fathers
Teen FictionJuno Keano Lim itu anak bungsu kesayangan ayah. Sejak kakak pergi tujuh tahun yang lalu bersama bunda, Juno hanya tinggal berdua dengan ayah. Tidak jarang umpatan serta kekesalannya membuat Juno hilang kendali pada ayah, padahal ayah sama sekali tid...