Juno bisa melihat perbedaan saat ada dan tidak adanya bunda di sampingnya, perbedaan yang sangat terlihat dan terasa.
Juno benci rumah ini, sejujurnya ia ingin sekali pergi jauh dari rumah ini, mengabaikan laki-laki tidak tau untung yang hingga detik ini tinggal bersamanya.
Juno menyendok sereal coklat dengan susu coklat yang dibuat oleh pembantu beberapa menit yang lalu kedalam mulutnya. Wajahnya terlihat tidak bersahabat, sendok didalam mangkuk pun sesekali dibanting kedalam rendaman sereal hingga susu coklat itu muncrat kemana-mana.
"Laki-laki tua itu kemana, sih?! Sudah kubilang aku mau pakai mobilnya!" Bentaknya.
Beberapa pelayan yang berdiri disana langsung meninggalkan meja makan, tetapi kepala pelayan yang kira-kira berusia diatas lima puluh tahun itu menggeleng tidak habis pikir. Ia maju kedepan meja lalu mengambil mangkuk putih yang masih terisi Sereal, Juno yang melihat itu menghujani pelayan tersebut dengan tatapan mematikan.
"Siapa yang suruh kau mengambil serealku?" Ujarnya.
Wanita tua itu menghentikan langkahnya lalu menatap Juno dengan tatapan datarnya.
"Saya kira tuan muda sudah tidak ingin sarapan?"
"Kata siapa? Jangan buat aku marah, letakan kembali serealku." Wanita parubaya itu kembali meletakan mangkuk putih itu.
"Jika tuan muda sedang marah, tolong jangan pecahkan mangkuknya. Kami semua sudah cukup berumur, terkadang sisa-sisa pecahan itu tidak kami lihat dan terinjak oleh tuan besar seperti kemarin sore." Juno menatap wanita parubaya itu, mendengar penuturannya membuat ia entah kenapa merasa tersudutkan. Ia memukul meja itu lumayan keras lalu menatap wanita itu tajam.
"Ini rumahku, kau hanya pelayan jadi jangan mengatur apapun yang ingin ku lakukan. Selama mangkuk ini tidak dibeli dengan uangmu, lebih baik kau tutup mulut." Ujar Juno sarkas.
Ia bangkit berdiri dari duduknya lalu mengibaskan mangkuk putih itu dari atas meja hingga melayang menghantam tembok dan hancur berkeping-keping. Tak ambil pusing, ia berjalan kembali ke kamarnya, menginjak pecahan-pecahan itu dengan sendal rumahnya tanpa takut tertusuk.
Wanita parubaya tersebut memejamkan matanya, selanjutnya ia menoleh ke arah seorang pelayan yang datang dengan sapu, serok sampah dan kain pel.
"Ren, tolong bersihkan dengan baik ya? Pastikan serpihannya tidak tersisa." Pelayan wanita itu mengangguk lalu membersihkan kekacauan yang disebabkan oleh Tuan Muda rumah ini.
.
Begitu suara pagar terdengar, Juno bangkit dari posisi berbaringnya. Ia berjalan ke arah jendela, menatap Jhon yang baru saja turun dari mobil.
Ia melihat cara jalan laki-laki itu yang terlihat sedikit pincang. Ia memperhatikan pria itu dari atas, detik berikutnya tatapan keduanya saling bertemu. Juno langsung memutuskan tatapan keduanya begitu saja, ia mengambil jaket levis miliknya lalu memakai sepatu putih, bersiap untuk keluar rumah.
Tidak lama pintu kamarnya terbuka, menampilkan seorang lelaki dengan setelan jas hitamnya. Usianya sudah masuk kepala empat, tetapi wajahnya masih terlihat muda.
"Ah, maafkan ayah, Ko. Tadi ada kecelakaan kecil dijalan, ayah membawa orang itu kerumah sakit jadi sedikit terlambat untuk pulang." Ujarnya.
Juno menatap laki-laki itu datar, ia terkekeh.
"Kau menolong orang yang sedang kesusahan? Tumben sekali?"
Jhon menatap Juno lalu kemudian ia tersenyum. "Hei, apa wajah ayah seperti orang jahat? Bukannya sudah tugas kita saling menolong?" Mendengar itu Juno terkekeh.
"Oh kau sudah jadi orang baik ya? Kukira kau hanya laki-laki brengsek yang pernah kukenal, bukan begitu?"
Jhon tersenyum kecil lalu mengangguk. Ia segera meraih kunci mobil didalam saku celananya, menyodorkan kunci itu ke arah Juno.
"Hati-hati, son." Anak itu tidak membalas ataupun menyahuti perkataan ayahnya. Ia mengambil kunci tersebut dengan sedikit sentakan, berjalan melewati sang ayah dan menghentak bahu ayahnya sedikit keras hingga laki-laki itu hampir terjembab kebelakang.
"Ko, ayah—"
"Namaku Juno, bukan Ko. Bunda tidak perna memberiku nama Keano sebelumnya. Tolong camkan itu."
Jhon diam, mengamati punggung anaknya yang hilang dibalik tangga. Hatinya mencelos, dia memang tidak becus menjaga putranya sendiri. Kepalanya tertunduk, ia kembali mengingat putra sulungnya.
"Dante, Ayah rindu."
.
"Ayah mau kopi panas tidak? Dante kebetulan sedang membuat coklat panas." Jhon menatap anak itu.
"Kalo tidak merepotkan, ayah mau satu gelas."
Setelah membuat segelas coklat panas, Dante membuat secangkir kopi panas. Ia membawa kopi panas itu keruangan kerja ayahnya menggunakan nampan, ia menatap wajah letih ayahnya yang saat itu menggunakan kaca mata kerja.
"Ayah? Ini kopinya." Jhon menerima dengan senang hati, meletakan kopi tersebut diatas meja yang sedikit jauh dari kertas-kertas pentingnya. Ia tersenyum ke arah Dante.
"Terima kasih, son." Dante mengangguk. Suara pintu yang dibuka membuat keduanya menoleh.
"Kak Dante! Ayo bantu aku membuat tugas matematika yang ini, Juno tidak tau caranya." Juno datang dengan dua buku dan satu tempat pensil dimasing-masing tangannya.
"Kakak tidak mengerti matematika, Ko." Ujar Dante. Raut wajah Juno berubah sedih.
"Lalu bagaimana—"
"Sini ayah bantu, Ko."
Juno membuang tatapannya ke arah ayahnya. Lelaki dengan kacamatanya itu tiba-tiba membuat Juno kesal bukan main.
Ia membuang buku-buku ditangannya, tempat pensil itu juga menghantam marmer coklat ruangan kerja ayahnya hingga semua isinya berhambur keluar.
Melihat kelakuan adiknya barusan membuat Dante geram. "Juno! Ayah sudah menawarkan dengan baik, kenapa Juno begitu?! Minta maaf sama ayah!" Tukas Dante marah.
Ia tidak suka jika Juno berperilaku seperti itu, sedangkan ayahnya hanya diam saja menatap Juno yang terlihat marah.
"Juno tidak mau! Dia tidak usah bantu! Juno tidak perlu bantuan!"
"Juno! Minta maaf sama ayah!" Juno tidak mengindahkan kata-kata Dante,
"Tidak mau!!" Juno lantas berlari dari sana lalu menutup pintu kamarnya keras.
Dante menggeram marah, ia ingin menghampiri Juno tapi ayahnya memegang tangannya, menggeleng pelan sambil tersenyum.
"Ambilkan buku adikmu kemari, biar ayah kerjakan tugasnya. Jika selesai nanti, Dante bawa ke kamar adik terus bilang kalau yang mengerjakan tugasnya bukan ayah, tapi Dante."
.
Kalau suka, tekan bintang ya!😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Selenophile Fathers
أدب المراهقينJuno Keano Lim itu anak bungsu kesayangan ayah. Sejak kakak pergi tujuh tahun yang lalu bersama bunda, Juno hanya tinggal berdua dengan ayah. Tidak jarang umpatan serta kekesalannya membuat Juno hilang kendali pada ayah, padahal ayah sama sekali tid...