0.3

903 107 22
                                    

.

Pagi itu Juno bangun cukup terlambat, jam dinakas sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas. Sengaja, pasalnya ini akhir pekan dan ayahnya akan berangkat kerja lebih lambat. Ia beranjak dari atas kasur, berjalan ke arah balkon lalu menatap teras rumah yang terlihat dari atas sini.

Sial, mobil ayahnya masih bisa ia lihat dibawah sana.

Juno menghela nafas, meneguk segelas air diatas nakas lalu kembali merengkuh bantal peluknya kuat-kuat. Ia mengambil ponselnya lalu memutuskan bermain dengan ponselnya. Merasa bosan, ia melempar ponsel itu asal lalu menatap jam dinding berwarna hitam pekat.

Pukul sepuluh tepat Juno beranjak lagi dari duduknya, ia kembali ke balkon kedua kalinya. Lagi-lagi ia berdecak, ayahnya belum juga pergi dari sini.

Kali ini ia memutuskan untuk mandi, menarik handuk putih di jemuran besi, lalu segera membersihkan tubuhnya. Sekitar setengah jam kemudian Juno keluar, ia merasa lega saat berendam dengan air hangat. Ia memilih celana pendek hitam dan baju kaos putih kebesaran untuk ia gunakan. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh, ia kembali berjalan ke arah balkon.

Untuk ketiga kalinya ia menatap teras lagi dan siapa sangka jika mobil ayahnya masih ada disana. Juno berdecak kesal.

"Laki-laki tua ini kenapa tidak segera pergi dari rumah?!" Juno membanting pintu balkon lalu memutuskan keluar dari kamarnya. Ia menuruni tangga, menajamkan telinga kalau-kalau suara tv bergema diruang santai. Hingga tapakan kaki terakhir, ia tidak merasakan adanya aura seseorang disini, padahal jika ayahnya ada disini pasti wangi parfum tercium menggelegar dari ruang santai.

Juno beranjak ke ruang makan, meraih roti dan selai kacang kesukaannya mendekat. Sambil mengolesi selai, Juno menoleh sekali lagi ke arah ruang santai.

"Tuan, mau saya buatkan susu Coklat?" Juno terkejut hingga sendok ditangannya terjatuh ke lantai, ia memutar matanya malas.

"Bisa tidak jangan membuat orang terkejut? Kau mau aku mati cepat supaya kau bisa dekat sengan laki-laki tua itu?" Si wanita parubaya mengernyit.

"Maksud Tuan apa? Saya sama sekali tidak mengerti." Juno menatap tajam kepala pelayan tersebut lalu meletakan roti buatannya ke atas piring.

"Buatkan aku segelas susu!" Perintahnya sarkas. Si pelayan mengangguk lalu pergi dari sana menuju dapur.

Juno membubuhkan satu gigitan besar pada roti buatannya lalu meletakan roti tersebut diatas piring putih mengkilap dihadapannya. Ia menggosok tangannya yang terdapat remahan roti pada celana yang ia gunakan lalu beranjak dari sana menuju ruang keluarga.

Pintu ruang keluarga ia buka, tidak ada orang disini. Lantas, kemana laki-laki itu? Biasanya jika tidak pergi kerja, dia akan duduk diruang keluarga seharian, atau tetap dikamar jika ia punya banyak pekerjaan atau... sedang sakit.

Tidak, pemikiran terakhir membuat Juno menggeleng. Laki-laki itu tidak mungkin sakit, sangat jarang sekali pikirnya.

Juno menutup pintu tersebut lalu segera kembali ke meja makan. Ia menyantap rotinya dengan tenang. Tidak lama kemudian susu coklat mendarat disamping piring roti yang tersisa saru gigitan, Juno menghabiskan roti tersebut dengan segera lalu meneguk susu coklat buatan pelayan hingga tandas.

Juno terdiam dikursinya. Ia menatap sipelayan yang baru saja datang untuk mengambil piring bekas sarapan Juno. Juno menatap wanita itu bingung.

"Ekhem."

Merasa aneh, pelayan itu menatap Juno seraya bertanya;

"Ada yang bisa saya bantu, tuan?" Juno berdehem ringan lalu menatap pelayan itu.

Selenophile FathersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang