bab pertama

453 34 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Astaga, Hannira! Lo ngapain ngemper di sini?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Astaga, Hannira! Lo ngapain ngemper di sini?"

Gadis berambut pendek sebahu itu mendongak dengan posisi masih sama—berjongkok di depan pintu unit apartemen nomor 603, lantai enam. Pemiliknya sudah koar-koar berkacak pinggang mengawasi temannya yang sudah seperti ini sejak satu jam yang lalu menunggu kehadirannya.

Hannira Renjani atau biasa dipanggil Hanni oleh teman-temannya di sekolah memang dikenal sebagai cewek sangar si penguasa bumi, tapi kalau sudah dihadapan Juandana Dirga—Hanni cuma si mental yupi yang dikit-dikit nangis.

"Ju, gue hwa-hwabis m-mwu-twusin Gavin."

Meskipun Hanni ngomongnya sambil sesegukan, tetapi Juan tetap paham dengan apa yang diomongin temannya barusan meskipun memerlukan waktu beberapa menit untuk menerjemahkan ucapannya. Lantas Juan mengambil posisi dengan berjongkok di sebelah Hanni sembari menepuk pundaknya pelan, mencoba untuk menenangkan.

"Lo yang mutusin, ngapa lo yang nangis, ih?" Juan tetap pada posisinya.

Hanni malah tambah nangis setelah ditanya seperti itu, membuat Juan kelimpungan sendiri karena berada di tengah keramaian koridor apartemen. Dirinya tidak suka menjadi tontonan gratis, lantas Juan menutup kepala Hanni dengan jas almameter sekolahnya. Lelaki itu menundukkan kepala kepada orang-orang yang merasa terganggu dengan tangisan Hanni, dan menunggu teman 18 tahunnya berhenti menangis.

Hanya butuh waktu lima belas menit, Hanni mengehentikan tangisannya, meskipun dikit-dikit terisak. "Han, lo mau es krim, nggak?" tawar Juan masih di posisi yang sama.

Hanni menggeleng di dalam jas almamater Juan, "Mau liat bebek."

Kening Juan mengermyit, melirik sekilas jam di tangan kanannya. "Udah jam delapan malem. Toko mainannya udah nutup."

"Pasar malem," cicitnya pelan, hampir tidak terdengar karena suara yang serak kelamaan menangis.

"Hah?"

Kemudian Hanni menjauhkan jas almameter Juan dari hadapannya sehingga wajah mereka saling beradu pandang dengan jarak lumayan dekat. "Pasar malem, Ju. Gue mau kesana!" rengeknya seperti anak kecil.

"Yaudah, ayo."

Dan Juan menyukai Hannira yang seperti ini: jujur apa adanya, bukan sosok pemarah yang dijauhi oleh orang-orang supaya mendapat validasi atas dirinya yang penguasa. Juan tidak suka Hannnira yang pembohong. Menjadi Hannira Renjani saja sudah cukup. Jangan dilebih-lebihkan.

Karena mungkin Juan sudah lebih dulu merawat luka-luka Hanni sebelum orang-orang datang merebut kuasanya. 


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✓] Our Last Happiness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang