Kota Lama, Semarang.

45 11 12
                                    

Dear my best man, Janu.

Aku menulis ini bermaksud buat pamit ke kamu, Jan. Iya, aku sama ibu memutuskan buat pindah dari Jogja. Maaf ya, karena pamit pakai nulis-nulis surat kayak gini segala. Karena jujur aku gak akan sanggup buat pamit langsung ataupun telpon kamu. Kalau ditanya alasannya kenapa gak sanggup, ya karena aku udah jatuh sama kebaikan kamu Janu. Terima kasih sebanyak-banyaknya sekali lagi, karena kamu udah membuktikan gak semua laki-laki itu jahat kayak ayah sama Jeffran. Hehehe.

Janu, see you in another chance. And i want you to know, that i have fallin in love with you with all of my heart.

She love me, she said.

But she left.

1 tahun kemudian. Juni 2023. Semarang.

Bau lezat dari hidangan makanan di atas meja makan itu tercium begitu jelas oleh perempuan dewasa yang kini tengah bersiap untuk berangkat bekerja.

Ia baru saja selesai berpakaian. Mengenakan atasan berupa kemeja seragam tempat kerjanya berwarna biru tua dengan tulisan "Dairy Village", lalu dipadukan dengan celana jeans berwarna senada dan sepatu putih polos yang memberi kesan netral. Terakhir, ia memilih untuk menguncir rambut panjangnya seperti biasa mengingat pekerjaannya yang terkadang mengharuskan dirinya untuk turun ke lapangan di siang hari yang terik.

Selesai dengan pakaian dan make up tipisnya, perempuan itu meraih tas punggung miliknya serta ponsel yang langsung ia simpan di saku celana.

Begitu ia keluar dari dalam kamar menuju ke arah meja makan, sosok wanita paruh baya dengan perut besar menyambut kehadirannya dengan senyuman mengembang.

"Pagi, sayang." sapanya sembari meletakkan satu mangkuk berisi rica-rica ayam kecap yang baru saja matang.

"Pagi, Ibuk. Ayo kita sarapan bareng!"

"Ibuk mau minum susu dulu. Kamu sarapan sekarang aja, sayang. Ibuk temenin."

Mendengar penuturan sang ibu, perempuan dewasa yang tak lain dan tak bukan adalah Lunar, sigap beranjak dari duduknya menuju ke arah meja pantry bermaksud membuatkan ibunya susu yang khusus dikonsumsi oleh ibu hamil saja. Sang ibu sendiri dengan sedikit susah payah menghampiri anak perempuan satu-satunya itu, lalu menariknya pelan sembari berkata,

"Ibuk bisa bikin sendiri, sayang. Kamu bisa telat kerjanya, ayo sarapan dulu, gih!"

Lunar tertawa kecil dan tidak mengindahkan perkataan ibunya. Perempuan itu meneruskan kegiatannya menuang air panas ke dalam gelas hingga setengah lalu mengaduknya sampai seluruh bubuk susu tercampur rata. Setelahnya ia menuangkan sedikit air dingin dan mengaduknya kembali beberapa kali. Begitu susu formula ibu hamil itu selesai ia buat, Lunar menyerahkannya pada sang ibu yang sudah kembali ke meja makan.

Pagi ini seperti biasanya Anin menemani anak perempuannya sarapan pagi di meja makan, di dalam rumah kecil mereka yang berada di Semarang.

Sebuah pagi yang begitu tenang dan nyaman yang telah keduanya lalui selama satu tahun belakangan.

"Lancar kerjanya hari ini ya, Lunar."

"Amin. Makasih Ibuk sayang!"

Perjalanan Lunar dari area rumahnya di Djomblang menuju ke area Kota Lama Semarang menghabiskan waktu sekitar 20 menit dengan angkutan umum. Melewati jalan raya utama dengan pemandangan Tugu Muda dan Lawang Sewu setiap harinya tak pernah sekalipun membuat Lunar merasa bosan melihatnya.

Baginya ini adalah sebuah panorama baru yang memberikan hatinya kesan tenang dan nyaman. Sayangnya walaupun sudah satu tahun lamanya Lunar bersama Ibuk tinggal di Semarang, belum sekalipun ia mencoba masuk ke bangunan Lawang Sewu atau melihat monumen Tugu Muda secara dekat.

Dialog Bulan (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang