"Ini sudah Juni yang kedua, dan kau masih meratap, Nona?"
Benar, ini sudah Juni yang kedua. November pun akan segera datang untuk yang ketiga kalinya. Jadi, untuk mengenang-- haruskah kuceritakan sedikit tentang dirinya? Tentang Tuan dengan senyum terindah seperti riak namanya. Tentang Tuan dengan suara indah yang akan selalu berhasil mengusik setiap kegelapan yang datang menyerbu di setiap malam. Tentang Tuan yang selalu berucap manis hanya untuk membuat seseorang yang didekapnya tidak lagi mendera rindu dan cemburu. Tentang Tuan-- yang selalu memberi arah pada seorang Puan yang tidak pernah tahu kemana arah jalan untuknya pulang.
"Bagaimana? Apa kau tertarik untuk mendengarnya, Kapten?"
"Aku selalu tertarik mendengar apapun yang keluar dari bibirmu, Nona. Aku, akan selalu tertarik untuk mendengar segala sesuatu yang berhubungan denganmu. Tapi-- jika untuk yang satu ini, aku akan menyerah. Karena mendengarnya, sama saja seperti menggerogoti rasa yang harusnya tumbuh dengan baik ini."
Memangnya siapa yang tidak akan tertawa bila mendengar suara sang kapten. Tidak, itu bukan tawa kegembiraan, tapi itu tawa sumir yang harusnya dihilangkan setelah sekian lama dipuja.
"Mengapa kau masih bisa tertawa?"
"Entahlah, hanya saja-- memang masih sang Tuan berjubah emas yang bergelayut di akar setiap derap nadiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembaran Semesta
Poésie"Apa kau berjanji akan terus menungguku, Nona?" Ini tentangnya, Tuan yang menampar Puan pada asmaralokanya yang pertama. Mengikat Puan bersama rantai akibat janji yang terikrar pada riak hujan yang turun. Membelenggu bagai larutan karbon monoksida y...