Dikamar yang bernuansa hitam dan abu-abu seorang pria duduk di kursi rodanya masih memegang atau lebih tepatnya mencengkram kuat kepalanya yang terus berdenyut sedari tadi. Mungkin karena dia yang berpikir terlalu keras dan itu membebani kerja otaknya yang mengakibatkan timbulnya rasa sakit di kepala.
"Bang Barra, bunda masuk ya". Ucap bunda Nia sambil membuka pintu kamar anak tengahnya. Barra hanya menjawab dengan anggukan kecil, meskipun tau bundanya tak akan melihat dia mengangguk.
"Abang marah sama bund_". Bunda Nia berjalan menuju arah Barra, sambil berujar namun berhenti karena melihat keadaan Barra saat itu.
"Kepala abang sakit lagi? Emm Abang minum dulu obatnya ya. Bunda panggilkan ayah abis ini atau bunda bantu abang baring di ranjang ya". Kata bunda Nia sedikit panik saat melihat Barra yang meringis sambil terus mencengkram kuat kepalanya.
Bunda Nia langsung pergi mengambil obat pereda nyeri milik Barra setelah mengatakannya. Barra menggelengkan kepalanya untuk menjawab perkataan terakhir bunda Nia, masih dengan meringis dan mencengkram kepalanya. Dia tau seberapa berat dirinya jika dibandingkan sang bunda, pasti akan sangat sulit bagi bunda untuk memindahkan tubuhnya.
Bunda Nia juga langsung membantu Barra untuk meminum obatnya, sedangkan Barra hanya pasrah. Barra merasa tubuhnya benar-benar lemah sekarang, mudah lelah, dan rasa sakit yang biasanya mudah dia tangani sekarang terasa berkali-kali lipat lebih menyakitkan.
"Abang tunggu sebentar ya, bunda panggil ayah atau yang lain buat bantu abang baring". Setelahnya bunda Nia bergegas keluar kamar untuk memanggil salah satu anggota keluarganya.
Disaat yang bersamaan ayah Tama juga keluar dari lift dan akan berjalan menuju kamar Barra. Bunda yang tak mau terlalu lama menjelaskan dan segala macamnya langsung menarik tangan ayah untuk segera masuk ke kamar dan membantunya membaringkan tubuh Barra agar dapat beristirahat.
Sepertinya obat yang Barra minum langsung bereaksi, buktinya sekarang dia yang mulai rileks dan mengantuk setelah dibantu oleh ayah Tama untuk berbaring di ranjangnya.
"Abang sakit kepala lagi Bun?" Tanya ayah Tama setelah membenarkan selimut Barra, dan melihatnya yang mulai menutup mata.
"Iya mas". Jawab bunda Nia memandang sendu putra keduanya itu.
"Kita keluar aja ya, biarkan Barra istirahat dulu". Ujar ayah Tama pada istrinya sambil merangkul pundak dan mengajaknya keluar kamar sang anak.
Bunda Nia juga mengikuti ajakan suaminya dengan tenang agar tak mengganggu dan untuk membiarkan anak mereka istirahat, karena memang ini sudah waktunya barra untuk tidur.
•
•
•Pagi-pagi buta seorang lelaki mulai membuka dan mengerjapkan mata dengan iris coklatnya itu, menyesuaikan dengan cahaya di ruangan. Dia mencoba mengumpulkan kesadaran dan merasa tak nyaman pada bagian bawah tubuhnya, bau tak sedap pun sedikit tercium dari arah bawah sana.
Mungkin karena kemarin dia yang terlalu banyak pikiran membuat tubuhnya menjadi lebih sensitif?. Rasanya dia ingin pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang terasa kotor. Dia coba berbagai cara untuk bisa duduk, tapi apa mau dikata, saat ini pikiran dan tubuhnya tak bisa sejalan.
Lelah, lemas, risih pula, itu yang Barra sekarang rasakan, dan lagi lagi sakit pada kepalanya mulai datang tanpa permisi. Niat hati tak ingin mengganggu tidur keluarganya, tapi apa daya dia sudah tak tahan dengan keadaan tubuhnya yang terasa tak nyaman juga sakit menambah rasa kesal pada dirinya sendiri.
"Halo? Maaf sepertinya anda salah sambung. Silahkan telfon lagi nanti". Ucap sang penerima telfon dengan suara serak khas bangun tidur.
"Tolong, ke kamar Abang sekarang". Kata si penelpon dengan suara sedikit parau dan langsung menutup panggilan secara sepihak. Yap pada akhirnya Barra memutuskan menelpon adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BarraNaya
FantasyKanaya Putri Daniswara seorang perempuan muda berusia 23 tahun yang harus menerima atau mungkin terpaksa menerima perjodohan dengan seorang laki-laki yang tak dikenalnya, tak pernah dilihatnya, tak tau latar belakangnya, tapi sang ayah mengatakan ba...