9 - akan pergi?

47 17 0
                                    

—pukul sepuluh, menunggu puncak gerhana matahari total.

—pukul sepuluh, menunggu puncak gerhana matahari total

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

💐💐💐

Bandung, 09 Januari 2009.

"Batu gunting kertas ..."

"Yeayyy!! Anta kalah!" Aku memberikan tasku pada Ananta yang mengerucutkan bibirnya. Kami berdua memutuskan siapa yang kalah akan membawa tas dari rumah ke sekolah. Sekarang kami sudah menjadi remaja yang seutuhnya. Kami sudah menduduki bangku SMA. Tepatnya kelas sebelas. Aku dan Ananta mengayuh sepeda dari rumah menuju sekolah dengan Ananta yang membawa dua tas. Aku menertawai laki-laki itu. Ia mengerucutkan bibirnya terus-terusan, membuat wajahnya terlihat lebih konyol.

Ananta tumbuh menjadi remaja yang memiliki tinggi semampai, aku seperti anak kecil jika berada di sampingnya. Hidungnya tambah mancung saja, suaranya sudah memberat lama kelamaan, alisnya tambah tebal, dan kulitnya masih putih walau tak seputih Ananta kecil. Soalnya, kami sering bermain di pantai sepanjang hari, jadinya kulit kami makin gosong. Ananta sering main di rumahku, dia sudah dianggap anak nya Bunda. Dia juga sudah seperti Abang bagiku yang menggantikan Bang Nanda ketika ia sudah menikah dan tinggal di kota bersama istrinya.

Bundanya jarang pulang, sedangkan Ayahnya kadang datang berkunjung hanya satu tahun sekali. Tapi Ananta tidak pernah mengeluh bahkan menangis di depanku, kecuali sewaktu ia masih kecil dulu. Ia adalah laki-laki kuat baik hati yang pernah kutemui setelah Ayah.

Sesampainya di sekolah, kami memarkirkan sepeda kami. Ananta dan aku berjalan beriringan menuju pintu masuk ke gedung sekolah. Tapi eh tapi, ada guru BK di sana yang sedang memegang kayu rotan di tangan. Tatapannya yang tajam membuatku bergedik ngeri. Omaigat! Aku baru ingat! Aku menepuk keningku merutuki kebodohanku.

Ananta menoleh, "Kenapa?"

"Aku lupa pakai dasi, gimana dong?"

Aku ketakutan setengah mati. Tidak bisa dibayangkan bagaimana rasanya aku dipukul oleh kayu rotan itu dan disuruh keliling lapangan sambil berkata 'saya menyesal tidak memakai dasi' aihhh, memalukan sekali.

Ananta membuka dasinya, ia memegang kedua bahuku agar aku menoleh ke arahnya. Tanpa berkata apapun, Ananta memasangkan dasinya di kerah seragamku. Aku melotot, "Woy?"

"Udah diem," katanya.

"Nanti Anta kena hukum Ibu galak itu!"

"Anta kan cowok, udah gapapa. Aru duluan aja."

"Tapi Aru gamau liat Anta dihukum."

"Banyak bacot banget sih anak Bunda satu ini, udah sana daripada kamu nanti dihukum suruh keliling lapangan?" Ananta selesai memasangkan dasi miliknya ke kerah seragamku, aku sedikit mendongak menatap Ananta yang memasangkan dasi sambil mengomel. Aku akui Anta memang ganteng sekali untuk jaman itu, sampai jaman kapanpun, dia laki-laki terganteng di dunia setelah Ayah. Tapi aku males mengakui di depannya, nanti dia kepedean dan telinganya naik sampai tiang listrik, males deh.

Jehanara 1999Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang