Part 1

2.7K 430 17
                                    

"Tri kamu sekarang ke rumah Sakit Harapan Bunda di Medan ya? Ibu sudah memesan tiket pukul tiga sore untukmu?"

"Ke rumah sakit di Medan sekarang? Siapa yang sakit, Bu?" Sambil menandatangani beberapa dokumen, Gayatri menerima telepon dari sang ibu. Refleks ia memindai jam dinding. Pukul sebelas siang. Artinya ia punya waktu tiga jam lagi untuk sampai di bandara. Cukuplah. Ia sudah terbiasa bepergian dalam waktu mepet.

"Anakmu."

"Hah, a--anak Ratri. Anak dari mana? Bukankah anak Ratri waktu itu sudah meninggal? Ibu ngomong apa sih?" Gayatri meletakkan pena. Ia kini serius mendengarkan kata-kata ibunya. Hening. Tidak terdengar kalimat apapun dari mulut sang ibu.

"Ratri menunggu jawaban Ibu."

"Sebenarnya putrimu tidak meninggal. Ayah dan Ibu telah memberikan putrimu pada kerabat jauh ayahmu di Medan sana."

"Astaga, Ibu. Mengapa kalian membohongi, Ratri?" Gayatri memegangi dadanya. Ingatannya seketika kembali pada saat dirinya dirinya masih berseragam putih abu-abu. Ya, dirinya hamil saat masih SMA. Usianya baru 17 tahun waktu itu.

"Kami melakukannya demi menyelamatkan masa depanmu! Kamu masih 17 tahun dan hamil dengan mahasiswa baru yang belum bekerja. Menurutmu kami sebagai orang tua harus bagaimana?"

"Ratri memang masih kecil saat itu. Tapi tidak seharusnya Ibu membohongi, Ratri. Dia anak Ratri, Bu!"

"Sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Tidak perlu dibahas lagi. Lakukan saja apa yang Ibu minta tadi. Kalau mau main salah-salahan, sebenarnya yang paling bersalah itu kamu. Hamil di usia sekolah tapi melarang Ibu dan Ayah memenjarakan laki-laki yang sudah menghamilimu. Kamu ini ibarat melemparkan setumpuk kotoran ke wajah kami, kamu tidak memperbolehkan kami membersihkan kotoran itu!"

"Karena Bang Iwas memang tidak bersalah, Bu. Ratri yang mengajak Bang Iwas ke acara ulang tahun Citra. Bang Iwas juga tidak memperkosa, Ratri. Kami sama-sama mabuk karena keadaan waktu. Jadi mana boleh Ibu memenjarakan Bang Iwas? Dengan dipecatnya ayah Bang Iwas sebagai guru saja, sudah sangat mempermalukan keluarga mereka besar mereka."

"Sudah! Jangan dilanjutkan cerita lama itu. Membuat Ibu emosi saja. Sana, temui putrimu. Nanti Pak Tono yang akan menjemputmu di bandara Kualanamu."

Gayatri menutup telepon dengan tangan gemetar. Anaknya masih hidup! Ibunya tadi mengatakan kalau anaknya perempuan. Berarti putrinya sekarang sudah berusia sepuluh tahun. Teringat masa lalu, benak Gayatri kembali ketahun-tahun di mana dirinya masih berseragam putih abu-abu. Gayatri memejamkan mata. Ia berusaha menghadirkan seraut wajah yang sebenarnya ingin sekali ia lupakan. Tanpa bisa ia tahan, kejadian sepuluh tahun lalu itu pun kembali terbayang.

10 Juli 2013

"Tri, ini undangan buat lo. Acara ulang tahun gue yang ke tujuh belas. Gue membuat party besar-besaran di rumah gue. Tenang, bokap nyokap gue lagi di London. Kita bisa party sampai pagi. Jangan nggak dateng lo ya?" Gayatri yang baru masuk ke dalam kelas dicegat oleh Citra. Di tangannya ada sebuah amplop berwarna merah muda.

"Acaranya kapan, Cit?" Gayatri menerima amplop yang disodorkan Citra.

"Lusa."

"Lo mau hadiah apaan?" Gayatri menyelipkan amplop merah muda itu di dalam tas.

"Bawa Bang Iwas sebagai pasangan lo. Gue minta hadiahnya itu aja." Citra mendekati Gayatri yang sudah duduk di kursinya. Kelas mulai ramai. Teman-teman sekelas mereka telah berdatangan satu persatu.

"Lo gila, Cit. 'Kan lo tahu kalo Bang Iwas itu pendiem banget. Galak lagi sama perempuan. Ogah ah. Ntar gue dicuekin kayak Tari and the gank. Tengsin gue."

Tunggu Aku Sampai Badai Usai (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang