prolog

3 1 0
                                    

— seberapa jauh kita pergi, aku harap kamu adalah tempat berpulang ku dan aku tempat berpulang mu —

Xerrel Adinata

***

Rumah sakit, pukul 15.35.

"Bagaimana? Apa pasien sudah siuman?"

"Belum, dok."

"Awasi perkembangannya dan periksa secara berkala. Jika pasien sudah sadar, periksa dan laporkan ketika ada masalah."

"Baik, dok."

Suara elektrokardiogram (EKG) memenuhi ruangan. Diruangan tersebut, ditempati oleh dua pasien yang tengah tak sadarkan diri pasca operasi. Kecelakaan brutal membuat keduanya diambang hidup dan mati.

Waktu terus berjalan, namun keduanya tak kunjung jua membuka mata. Mereka yang tengah dilanda khawatir tak henti henti membaca doa.

"Kak Rel, kak Cilla. Kalian berdua kapan bangun? Seira takut." tanpa diminta air mata itu jatuh tak henti henti. "Hiks... Mama, papa terus om sama tante juga khawatir kak... Kalian berdua bangun ya? Semua udah baik baik aja kok."

Siera menatap Saga yang berada di depan pintu itu, "Hiks... Kak Saga... Kenapa mereka berdua belum bangun? Katanya kalo Siera ajak ngomong, mereka berdua bakal respon! Kak Saga.. hiks... Bohong!"

Saga tak tau harus menjawab apa dan berakhir memeluk Siera yang sudah menangis terisak-isak.

"Hiks... Kalo mereka berdua gak bangun gimana kak Saga?! Aku mau nyusul aja kalo gitu!"

"Mereka pasti bangun kok, Siera. Kalo Siera sering berdoa sama tuhan, Mereka berdua bakal bangun kok."

"Hua... Bahkan setiap hari Siera berdoa sama tuhan biar mereka cepet bangun kak! Tapi apa?! Udah hampir 6 bulan mereka gak siuman!"

"Tuhan punya rencana, Siera. Jadi jangan kamu pertanyakan, jangan kamu ragukan. Kamu harus percaya dan terima apa yang terjadi meski berat oke?"

"Hua... Tapi Siera... Siera gak bisa kak!"

Saga menepuk nepuk bahu Siera yang bergetar hebat. Berat bagi kita semua untuk menerima sesuatu yang menyakitkan, namun apa boleh buat? Rencana tuhan tidak ada yang tau.

Setelah 1 jam menangis, Siera akhirnya tertidur karena lelah. Saga membaringkan Siera di sofa dan menyelimutinya. Kini, giliran Saga yang mengalami over thinking.

"Lo berdua lagi ngapain sih gak bangun bangun? Sayang sayang an di alam roh? Emang gak bisa ya balik dulu ke raga masing masing? Gua hampir gak bisa berpikir jernih tau gak? Nyokap bokap lo berdua udah sadar dengan kesalahan mereka. Jadi tolong bangun... Gua putus asa banget ngeliat keadaan lo berdua yang kayak gini."

Sambil memegang tangan Xerrel, pertahanan Saga runtuh seketika melihat kedua sahabat nya tengah berjuang melawan maut.

"Rel, kalo lo gak bangun gua bakal nikahin adek kesayangan lo. Dan lo Cilla, uang hasil kerja keras lo bakal gua pake buat foya foya!"

Sedetik setelah Saga melontarkan kata kata tersebut, jari Xerrel tiba tiba bergerak. Buru buru Saga memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Xerrel.

2 jam setelah pemeriksaan menyeluruh, Xerrel siuman. Tak henti henti mereka yang menunggu mengucap syukur.

"Kapan kira kira dia bangun, dok?" tanya Xerrel menatap lekat sosok yang tengah terbaring di ranjang sebelah.

"Kami semua sudah berusaha sebaik mungkin."

"Itu bukan jawaban yang saya inginkan, dok."

Dokter tak bisa memberi kepastian untuk pasien yang tengah koma, namun mereka pun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk pasiennya tersebut.

Dalam hati Saga mengumpati temannya yang baru siuman itu. "Terimakasih dok sudah memeriksa. Silahkan pergi dok."

"Kami akan kembali untuk pemeriksaan berkala. Terimakasih atas pengertiannya."

Dokter pun keluar dari ruangan.

"Hah... Rel, dokter udah berusaha semaksimal mungkin. Cilla pasti siuman." ujar Saga menenangkan.

Xerrel menatap dingin Saga, "Kalo dia gak bangun, lu mau tukeran?"

Saga mengelus dadanya. "Huh.. tahan gak boleh emosi. Untung lu pasien, Rel."

"Emang kenapa kalo gua bukan pasien?" tanggap Xerrel dengan tengil. 

"Bakal gua pukul lah! Pake tanya lagi!"

Xerrel beranjak dari ranjangnya. Menghampiri Cilla yang terlihat seperti sedang tertidur lelap. Wajah cantik itu sangat pucat, bahkan bibir merah mudanya telah berubah pudar.

"Dia bakal bangun. Dia anak yang kuat."

"Mereka dateng jengukin kita?"

"Iya. Gua gak tau itu cuman sesaat atau enggak. Tapi gua harap lo berdua bahagia."

"Lo bisa keluar dulu gak? Dan bilang jangan ada yang masuk selama 15 menit kemudian?"

"Sure."

Saga keluar dan menuruti permintaan Xerrel agar tak ad yang masuk. Kini ruangan tersebut hanya terdengar suara EKG.

Lekat lekat Xerrel tatap wajah pucat pasi Cilla, menggenggam pelan tangan yang seperti akan hancur itu.

"Jangan terlalu lama tidur. Lu masih inget jalan pulang kan? Kalo lu masih capek, gapapa tidur aja sampe lu puas. Tapi inget, lu harus bangun. Karena gua nungguin lu disini. Lu punya gua disini. Sejauh apapun lu pergi, gua adalah rumah tempat lu pulang, paham? Love you more. I will wait, but you should also come back."

Tok..tok.. 

"Xerrel, bunda boleh masuk?"

Xerrel mengabaikan panggilan tersebut, ia masih menatap lekat wajah Pricilla yang tengah menutup mata itu.

"Xerrel?"

Suaranya panggilanny begitu lembut. Xerrel sedikit bergidik mendengar suara ibu nya yang bisa selembut itu. Karna ibu yang Xerrel kenal adalah seorang ibu yang sering berteriak.

"Bunda masuk ya?"

Xerrel masih tak menanggapi. Xerrel kembali ke ranjangnya dan memejamkan mata. Perasaannya sedikit campur aduk.

Kriet..

Sofia memasuki ruangan. Yang ia lihat disana, Xerrel tengah tertidur. Wajah tampan itu begitu pucat, tubuhnya sedikit kurus. Sofia sempat tertegun melihat kondisi anaknya yang sudah ia terlantarkan hampir selama anak itu hidup.

Sofia tak bermaksud melukai anak itu dan adiknya. Namun, semua menjadi kacau ketika ia melihat wajah Xerrel yang begitu mirip sang ayah. Padahal ia yang mengandung dan melahirkan dengan nyawa sebagai taruhan. Tapi mengapa ia sangat membenci anak yang tak bersalah itu?

Air matanya mulai jatuh. Sofia menangisi kebodohannya sebagai seorang ibu. Sebagai seorang ibu, Sofia selalu melarikan diri dan membuat anak anak mereka tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang.

"Bunda minta maaf karena enggan merawat kamu selama ini. Bukan maksud bunda untuk seperti itu. Bunda gak akan banyak bicara, karena itu akan terdengar seperti alasan buat kamu. Bunda harap kamu bahagia. Tentang ayah kamu, bunda sudah mengambil hak asuh. Kamu tidak akan terikat lagi oleh ayah kamu. Bunda hanya memegang hak asuh untuk membebaskan kamu dan Seira. Bunda gak akan nuntut apapun, kamu bisa bebas. Kamu paham maksud bunda kan Xerrel?"

Sambil terisak, Sofia menggenggam erat tangan Xerrel. Penyesalan memang selalu datang terakhir.

"Maaf..."

Sofia melepas genggaman tangannya dan pergi menuju ranjang Pricilla.

"Kamu harus bangun ya. Tolong jagain Xerrel sama Seira. Makasih udah datang ke kehidupan mereka. Tante minta maaf atas semuanya. Semoga kalian bahagia."

Setelah mengatakan itu, Sofia pergi meninggalkan ruangan. Xerrel memejamkan matanya, matanya memerah sebab menahan air mata agar tidak jatuh.

Ia menoleh ke arah Pricilla, "Gua harap semua masalah selesai sampai lu bangun. Kita harus bahagia, Cil."

WE MUST BE HAPPY ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang