Part 6

81 67 126
                                        

Malam hari aku terbangun dan merasa gelisah setelah berbicara dengan Asyam. "Seandainya aku berada dalam posisi Asyam apa yang harus aku lakukan,"gumamku dalam kamar memikirkan keadaan yang terjadi pada Asyam.

Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan sangat berat seakan-akan berfikir jika kenyataan itu memang tidak adil. Kami disuruh memilih jalan yang sangat berat dan selalu berujung dengan perasaan lelah menjalani semua itu.

Di dalam kamar sendirian dan merenung terhadap kejadian Asyam. Apakah masa depan ini memang tidak bisa diubah dengan semua kerja keras. Setiap kami melangkah selalu banyak kenyataan yang menghalangi langkah kami. Apakah jalan yang kami pilih adalah sebuah kesalahan atau kami sudah berada di jalan yang benar namun masih panjang untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

Aku berjalan keluar untuk mengambil segelas air minum. Pikiranku penuh akan keadaan Asyam saat ini. Bagaimana caranya aku bisa membantu Asyam agar mendapatkan beasiswa lain. Ketika aku mengambil air terdengar suara dari kamar Ayah dan Ibu. Aku kira mereka sudah tidur ternyata mereka masih belum tidur.

"Besok kita harus membayar... ,"terdengar suara Ibu bercakap dengan ayah namun tak terlalu jelas.

Aku jadi semakin penasaran mereka berdua lagi membicarakan apa. Aku mendekat ke kamar Ayah dan Ibu untuk menguping.

"Kemarin uangnya habis untuk modal awal warung Ibu. Beasiswa angkasa juga belum cair,"terdengar suara Ibu.

"Iya nanti Ayah coba carikan uangnya untuk membayar buku dan uang seragam olahraga angkasa."

Aku yang mendengar percakapan mereka berdua langsung saja masuk kedalam kamar. "Ayah apa angkasa berhenti sekolah saja ya? Sepertinya Angkasa salah membuat pilihan untuk bersekolah."

"Sepertinya orang-orang seperti kita ini tak layak untuk menempuh pendidikan yang tinggi,"lanjutku dengan tersenyum merasakan semua kekecewaan.

Ayah tersenyum melihatku. "Udah gak usah terlalu dipikirin, ayah punya uang kok buat bayar seragam dan buku sekolah kamu anakku,"ucap Ayah tersenyum dan yakin jika Ayah memiliki uang untuk kebutuhan sekolah Angkasa.

"Angkasa gak ingin membebani Ayah dan Ibu." Tiba-tiba air mata keluar dengan sendirinya merasa menjadi beban bagi keluarga.

"Udah sekarang Angkasa tidur untuk urusan uang sekolah, nanti biar Ayah yang mencarikan,"ucap Ayah sambil tersenyum memegang kepalaku.

Seketika aku memeluk Ayah dengan sangat erat merasa kasihan kepada Ayah dan Ibu yang selalu bekerja keras untuk cita-cita anaknya.

"Udah gak usah menangis. Sekarang Angkasa tidur ya!" ucap Ayah sambil tersenyum.

Aku mengaggukan kepala dan menuruti ucapan Ayah.

Di dalam kamar diriku tidak bisa tidur memikirkan Ayah dan Ibu yang bekerja terus menerus hanya untuk diriku bisa bersekolah. Aku merasa bahwa diriku hanya sebuah beban untuk keluarga. Duduk termenung dan memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang untuk membayar seragam sekolah dan uang buku. Pikiranku mulai penuh dan kacau.

Untuk saat ini aku hanya bisa menangis dengan semua keadaan. Aku hanya seorang yang cengeng menangisi setiap masalah. Disitulah akar-akar keputusasaan mulai menjerat dalam gelapnya malam. Menarikku terus menerus untuk menyerah dengan semua keadaan.

"Jika kamu terus-terusan berteriak menyalahkan keadaan maka keadaan itu tak akan pernah mau berubah karena disalahkan. Ubahlah keadaanmu sendiri dengan kerja keras dan usaha." Terlitas dalam pikiranku kata-kata yang terus mengingatkan untuk apa aku berjuang selama ini. Menyerah bukan hasil yang selama ini aku perjuangkan. Mataku mulai terpejam kembali dan berkata untuk beristirahat sejenak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Negeriku Tempatku BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang