Part 2

355 349 582
                                    

Aku berjalan pulang dengan beberapa luka lebam bekas dari pukulan anak-anak tadi. Sesampainya di rumah Ibu melihat wajahku dengan luka lebam.

"Kamu berkelahi di sekolah?"tanya Ibu sambil memegang pipiku yang lebam.

"Enggak Bu tadi Angkasa terjatuh saat berjalan terus terbentur lantai eh jadinya seperti ini." Aku yang terpaksa berbohong karena tak ingin semakin menjadi masalah karena anak-anak itu memukuliku.

Ibu berdecak dan mengambil air hangat untuk membasuh luka lebamku. "Makanya kalo jalan hati-hati ta Le,"ucap Ibu sambil membasuh lukaku dengan air hangat.

"Iya Bu,"ucapku sambil sedikit menahan rasa sakit.

Ibu tersenyum melihatku. "Dulu kamu masih sangat kecil dan sering sekali menangis sekarang kamu sudah menjadi besar, Ibu harap kamu menjadi orang yang hebat. Ibumu hanya bisa memberi doa tidak bisa memberikan uang saku ataupun pakaian yang layak seperti orang tua lainnya. Terkadang Ibu sangat ingin sekali memberimu sebuah baju yang bagus agar mereka tak selalu meremehkanmu karena di Negeri ini penampilan adalah haraga dirimu, dengan penampilan menarik maka orang lain akan menghormatimu."

Aku tersenyum mendengar perkataan Ibu. "Tak apa Bu. Angkasa merasa bangga bisa terlahir sebagai anak Ibu dan Ayah orang tua yang terus berjuang agar mimpi anaknya terwujud. Menurut Angkasa Ayah dan Ibu adalah orang tua terhebat," ucpaku dengan tersenyum melihat Ibu. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan mimpiku agar kalian berdua bangga dan tak akan pernah ada yang menginjak-injak harga diri kalian lagi.

"Ya udah Angakasa mau istirahat dulu Bu,"ucap Angkasa sambil membawa tas kreseknya masuk kedalam kamar kecil.

"Aku ingin sekali membuktikan kepada mereka kalo orang desa seperti ini bisa bersaing dengan orang-orang seperti mereka. Aku berjanji akan ku tunjukan kepada mereka jika Aku bisa lebih dari mereka." Dalam kamar kecil aku merasa sangat marah dan kecewa terhadap semua orang yang memandang rendah orang desa.

Tak terasa waktu sudah menjelang sore hari.

"Angkasa kemari le!"panggil Ayah.

"Iya Yah?"

"Melok Ayah diluk Le,"ajak Ayah untuk pergi ke suatu tempat.

Aku hanya mengangguk dan ikut bersama Ayah. Entah kemana ayah akan mengajaku pergi, dengan mengendarai sepedah tua kami menyusuri pematang sawah yang indah. Angin bertiup membuat padi menari-nari menyambut kami.

"Gimana sekolah hari pertama?"tanya Ayah kepadaku.

"Asik,"jawabku menutupi apa yang sebenarnya terjadi.

"Tak apa kalo hari pertamamu buruk jadi ceritakan saja Angkasa. Namun jangan jadikan hari pertamamu untuk alasanmu menyerah,"ucap Ayah sambil terus mengayuh sepedah tuanya seakan-akan tau apa yang telah terjadi di hari pertama sekolah Angkasa.

Aku menangis sekeras-kerasnya. "Kenapa setiap orang selau melihat dari sudut pandang kasta dan derajat seseorang? Apakah kita orang desa tak diperbolehkan untuk menuntut ilmu?"

"Orang-orang sialan,"teriakku dengan sangat keras.

Tiba-tiba ayah menghentikan sepedahnya. "Hei Angkasa ingat mereka bisa menjelek-jelekan kita dengan ucapan mereka tapi mereka tak akan pernah bisa merubah mimpi kita. Mereka hanya sebagian kecil dari tembok-tembok yang menghalangimu untuk meraih mimpi, tetapi mereka tak akan pernah menghentikan lakahmu Anakku."

"Janganlah pernah membenci mereka tapi ubahlah sudut pandang mereka dengan pencapaianmu anakku,"ucap ayah sambil mengelus kepalaku.

"Ayah tau kalo anak Ayah yang satu ini adalah orang yang paling hebat. Seorang anak dari desa dengan mimpi besarnya akan membuat mereka menjadi sadar bahwa orang desa tak seburuk apa yang mereka pikirkan."

Negeriku Tempatku BerceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang