Bab 4 : Tangis Dari Kubur

3.7K 217 18
                                    


Matahari belum terlalu tinggi, pagi-pagi sekali julak Sarkani sudah terlihat gelisah di depan rumah hajah Diana. Sejurus kemudian, orang yang ditunggunya telah berdiri di depan pintu. 

Jaya terlihat kesal karena dibangunkan sepagi ini. Kejadian yang dialami si ibu dan istri kedua  sungguh membuatnya pusing. Akan tetapi, rasa kesalnya pada julak Sarkani langsung sirna detik itu juga. Mendengar penuturan pak tua itu, amarah Jaya seketika menggelegak. 

Jaya lantas memanggil amang Husni, bersama julak Sarkani mereka bergegas menuju salah satu lanting. Lanting yaitu rumah apung, rumah khas Kalimantan yang banyak terdapat di bantaran sungai. 

Di atas lanting, Jaya menyadari ada yang kurang dari penampilan julak Sarkani pagi itu. 

"Dimana akik kecubungmu julak? Biasanya tak pernah lepas dari jarimu."

Julak Sarkani menghela napas, "Sudah kucari sejak selesai sholat subuh tadi, tapi tak ketemu. Entah hilang dimana, aku tak tahu. Sepertinya aku lupa menaruh dimana."

Lima menit berselang, sebuah perahu motor yang disebut kelotok mendekat. 

"Kemana mang?" tanya juru mudi. 

"Ke hilir," balas Jaya. 

*****

K

elotok bergerak ke arah hilir, melewati barisan lanting yang berjejer di tepian sungai Nagara. Tiba di lanting paling ujung, kelotok segera merapat. Mendengar ada suara kelotok, seorang wanita berdaster lusuh keluar dari dalam rumah. Melihat Jaya, julak Sarkani dan amang Husni datang, raut wajah wanita paruh baya itu mendadak cemas. 

"Assalamu alaikum, cil. Angah ada?" kata Jaya. 

"Wa alaikum salam. Masuk dulu, bicaralah di dalam."

Nyonya rumah bergegas membawa ketiga tamunya masuk ke dalam rumah, menuju kamar dimana sang suami terbaring tidak berdaya. 

"Suami ulun, sakit sejak malam kemarin. Sekitar pukul 12 malam lewat sedikit, ia datang mengetuk pintu dalam keadaan panik. Tanpa bicara, ia langsung masuk ke dalam kamar dan bersembunyi di balik selimut. Seumur hidup, baru sekali ini ia ketakutan. Sampai sekarang, ia tidak bicara apa yang dilihat di makam istrimu," ungkap nyonya rumah dengan suara serak. 

Melihat orang yang dicari terkulai lemah di pembaringan, Jaya yang tadinya penuh amarah berubah menjadi kasihan. Ditatapnya lekat-lekat lelaki paruh baya itu, matanya melotot, mulutnya menganga, wajahnya pucat dan tubuhnya lebih kurus dari biasanya. 

"Ngah, apa yang terjadi?" tanya Jaya prihatin. 

Lelaki di hadapannya berusaha menjawab, tapi hanya gumaman tak jelas yang keluar dari mulutnya. 

"Haah…haah…"

Lelaki paruh baya itu, angah Irin namanya, sepertinya hendak menyampaikan sesuatu. Akan tetapi sesak nafas di dada membuat suaranya terdengar mirip seperti kambing yang sedang disembelih. Suaranya serak putus-putus, meracau tidak jelas. Mulutnya mulai mengeluarkan liur, membasahi bantal kapuknya yang lusuh. 

"Kapidaraan," ucap julak Sarkani, "ia ketempelan mahluk halus.  Ambilkan air putih dan kunyit."

Si nyonya rumah beranjak ke dapur lalu kembali membawa permintaan julak Sarkani. 

Julak Sarkani langsung melumat kunyit seukuran jari itu menggunakan mulut sambil membaca doa. Setelah selesai, lumatan kunyit tadi lantas ia oleskan di dahi , kedua telapak tangan dan kaki angah Irin. Ia mengoleskan cacak burung, dipercaya untuk menangkal gangguan mahluk halus. 

Sandah ( Kuntilanak Berwajah Lebar ) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang