Bab 20 : Dendam Dari Alam Kubur

3.4K 242 52
                                    

Pambakal Sarip berlari sangat kencang menyusuri jalan setapak. Di samping, dua orang anak buahnya terus mengikuti dengan wajah tegang. Hamparan ilalang telah berganti pohon-pohon tinggi. Sebentar lagi, jalan setapak yang membelah hutan akan sampai di muara jalan menuju desa. 

Entah sudah berapa menit mereka berlari, yang jelas tersisa mereka bertiga masih bertahan hidup. Beberapa orang warga yang bernasib sial telah menjadi korban keganasan sandah. 

Pambakal Sarip merasakan tubuhnya semakin lelah. Urat-urat kakinya sudah terlalu kencang, tidak bisa dipaksa lagi untuk berlari. Nafasnya sesak dan pembuluh darahnya terasa pecah. Bercucur keringat, pambakal Sarip lunglai kehilangan tenaga. 

"Huuh…haah…huuh…haah…"

Pambakal Sarip menarik nafas lalu menghela nafas. Ia duduk tersungkur di atas jalan setapak, di antara pohon-pohon tinggi. Butir-butir peluh sebesar jagung berjatuhan dari wajahnya yang cekung. Di samping, dua orang kepercayaan ikut duduk di atas rerumputan. 

"Celaka, si Misnah. Hantu sandah itu pasti akan mengejarku. Sarkani sialan!" racau pambakal sembari mengatur nafas. 

"Pambakal, sebaiknya kita selekasnya pergi, sebelum arwah Misnah sampai kemari," timpal salah seorang kepercayaannya. 

Pambakal Sarip mengangguk. Semakin cepat mereka mencapai desa, semakin besar peluang mereka selamat. Akan tetapi, baru saja mereka berdiri, terdengar suara mencurigakan dari belukar di samping kanan. 

Suara rintih tangis, sayup-sayup bertindih dengan suara dedaunan yang tertiup angin. Pambakal Sarip menyorotkan senter ke arah suara, tapi yang terdengar selanjutnya suara lain. Suara langkah kaki dari arah belakang, terdengar jelas sewaktu menginjak daun-daun kering. 

Refleks, ketiga orang itu langsung balik badan. Ketiga orang itu langsung menarik napas lega, karena tak ada suatu apapun yang mereka lihat. Hanya ada jalan setapak yang gelap tanpa ujung, mengarah ke padang ilalang lalu hamparan padi milik julak Sarkani. 

Saat kembali berpaling, ketiganya seketika memekik kaget. 

"Allahu akbar…! Allahu akbar…!"

Pekik takbir berkumandang, tatkala Misnah ternyata telah berdiri di tengah jalan. Bermandikan darah dan kuku panjang menyentuh tanah, Misnah menyeringai lebar. Misnah lantas menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan, pemandangan yang mengerikan. 

Kraaak… kraaak… 

Kepala Misnah melebar senti demi senti, membuat siapapun kehilangan nyali. Ayat-ayat suci yang diucapkan pambakal Sarip dan bawahannya tidak berpengaruh. Malah, Misnah tertawa kencang. Tertawa patah-patah penuh ejekan. 

"Kik…kik…kik…"

Pambakal Sarip gemetar dan bulu kuduknya merinding. Namun, kepala desa itu tak kehilangan akal. 

Braak

Seorang bawahannya ia dorong kedepan, tepat menghantam Misnah yang bergerak perlahan. Tanpa arah, pambakal Sarip dan seorang lagi bawahannya memacu langkah seribu menembus belukar. Mereka asal berlari menembus hutan yang lebat, sementara jerit kematian kembali melengking di belakang. 

Orang kepercayaan pambakal Sarip berlari sangat kencang bagai kijang, melompat-lompat di antara semak dan rerumputan. Pambakal Sarip yang kalah cepat mulai tertinggal, sementara jarak cahaya senter di depan semakin menjauh. 

Braak… 

"Aaaarrrrggghhhhh…!!!"

Orang kepercayaan pambakal Sarip itu tiba-tiba terpelanting menghantam tanah. Ia menjerit kesakitan dan kepalanya berdarah. Tubuhnya lantas diseret paksa, lalu melayang-layang di udara dengan posisi terbalik. 

Sandah ( Kuntilanak Berwajah Lebar ) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang