Bab 5 : Jejak Darah

2.7K 211 14
                                    


Pambakal Sarip duduk termenung di halaman belakang rumahnya. Duduk di atas kursi rotan dan berteman segelas kopi, ia menatap sekumpulan ayam peliharaan yang tengah mematuk benih padi.

Meski tubuhnya ada di situ, pikirannya berada di tempat lain. Jauh di lubuk hati, kepala desa itu merasa senang dengan kematian Apri. Setidaknya, pemuda tak jelas masa depan itu tidak lagi mengganggu anaknya yang telah bersuami. Sebenarnya, bukan kedudukan atau harta yang membuatnya tidak merestui hubungan Atul dan Apri. Namun, perilaku Apri lah yang membuatnya tak senang.

Pambakal Sarip tahu betul perilaku pengangguran itu. Pemuda itu suka meminum tuak, berkelahi dan juga mencuri. Sudah berkali-kali ia berbuat onar dan merepotkan penduduk desa. Sarip tak habis pikir, apa kelebihan pemuda itu hingga membuat putrinya tergila-gila. Sebagai seorang ayah, tentu ia ingin yang terbaik bagi anaknya, meski kadang si anak salah tanggap.

Karena itulah, dia langsung mengiyakan sewaktu Jaya mengutarakan niat hendak mempersunting Mariatul. Baginya, tak masalah putrinya menjadi istri kedua. Di kampung ini, adalah hal biasa bila seseorang punya istri lebih dari satu. Menjadi istri kedua, jauh lebih baik daripada melihat putrinya hidup menderita. Apalagi setelah 12 tahun menikah, mendiang Misnah tetap tak bisa memberikan keturunan bagi Jaya.

Namun, tetap saja pambakal Sarip merasa heran. Menurutnya, tak mungkin Apri meninggal karena hantu Misnah.

Ada hubungan apa antara Misnah dan Apri, hingga mayatnya bangkit dari kubur dan menuntut balas?

Ia kemudian teringat perkataan julak Sarkani tadi malam, bahwa ada beberapa nyawa lagi yang akan mengiringi kematian Misnah ke alam kubur. Seketika pambakal Sarip memegang tengkuknya yang tiba-tiba merinding tanpa sebab. Wajahnya cemas dan tubuhnya mulai gemetar.

"Aku harus bertemu Nini Tuha," bisiknya pada diri sendiri.

"Kak, ada polisi di depan."

Istrinya yang tiba-tiba berada di samping membuat pambakal Sarip terlonjak dari kursi. Ia mengatur nafas dan mengelus dada karena jantungnya berdetak kencang. Setelah cukup tenang, pambakal Sarip melangkah untuk menemui sejumlah polisi yang menunggu di depan rumah.

*****

Atul yang masih merasa sedih di kamar, mendengar suara berisik di lantai atas. Tepatnya, di kamar Misnah. Ia beranjak dari ranjang lantas merapikan rambut yang berantakan, menyeka air mata lalu melangkah ke lantai dua. Rasa penasaran membuatnya ingin tahu ada apa di kamar madunya itu.

Setibanya di kamar Misnah, Atul terheran-heran melihat Jaya, julak Sarkani dan amang Husni mengacak-ngacak kamar istri pertama suaminya itu. Melihat Atul di depan pintu, Jaya bergegas menghampiri dan mengelus-elus mesra rambut istri mudanya.

"Tidak apa-apa, ada yang kami cari di sini," kata Jaya lembut.

Misnah hanya mengangguk-angguk dalam pelukan suami. Dilihatnya kamar Misnah berantakan, lemari dan ranjang sudah tidak karuan susunannya.

"Jaya! Apa yang kalian lakukan?"

Suara hajah Diana yang baru datang menggelegar, membuat semua orang menjadi kikuk. Julak Sarkani tertunduk lesu, merasa bersalah karena telah mengacak kamar mendiang Misnah tanpa ijin mertuanya.

"Jaya, tak cukupkah kau buat sakit hati si Misnah? Kamarnya pun kau acak-acak, apa maumu!?"

Walau pun wajahnya masih pucat, tapi galaknya hajah Diana cukup membuat yang lain ketakutan. Bolangnya yang berwarna merah menyala ikut bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepalanya.

"Ma, dengar dulu. Ada yang kami cari di kamar Misnah."

"Cari apa?"

"Minyak perunduk," sambung Julak Sarkani.

Sandah ( Kuntilanak Berwajah Lebar ) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang