Bab 7

380 6 2
                                    

Asma melirik Ehsan. Wajah Ehsan tampak serius.

"Ini soal pernikahan kita nanti, Pak." Asma menjeda kalimatnya sejenak. "Pernikahan di rumah saya nggak harus mewah. Sederhana aja. Hanya makan-makan aja."

"Jangan!" sergah Ehsan, "resepsi di rumah kamu tetap digelar. Kamu nggak usah memikirkan biaya. Saya sudah bilang, kan, kalau semua biaya saya yang nanggung? Jadi, kamu nggak usah khawatir."

"Begini, Pak. Resepsi di rumah saya nanti sederhana saja. Di rumah Bapak juga nanti sederhana juga. Jadi, kan, impas, kan?"

Ehsan mengernyit. "Pas gimana? Saya nggak paham maksud kamu."

Asma mengembuskan napas pelan. "Begini, Pak. Nanti resepsi di rumah saya sederhana aja. Hanya makan-makan. Resepsi di rumah Bapak juga sederhana. Jadi impas, kan? Kalau resepsi di rumah Bapak dilakukan meriah, saya malu kalau dosen dan karyawan di kampus. Mereka pasti diundang, kan, kalau acara di rumah Bapak acaranya meriah?"

Ehsan terkejut mendengar penjelasan Asma. Kenapa dia tak sampai berpikir ke sana? Jika acara resepsi pernikahan di rumahnya diadakan secara mewah, pasti kedua orang tuanya akan menyuruh Ehsan mengundang seluruh dosen dan karyawan di kampus.

Kedua orang tua Ehsan pasti menginginkan pesta pernikahan yang mewah seperti kakaknya Ehsan dulu.

"Bagaimana, Pak? Bapak setuju, kan?" Pertanyaan Asma menarik kesadaran Ehsan.

"Begini saja. Resepsi pernikahan di rumah kamu tetap ada. Bukan hanya makan-makan. Ya, memang nggak mewah sampai meriah gitu. Tapi, jangan hanya makan-makan aja. Tetap ada pesta. Pengajian juga nggak papa. Nanti bilang sama bapak kamu, ya. Ini tambahan aja. Bilang aja kemarin lupa belum dibahas. Kalau resepsi di rumah saya, nanti saya coba diskusikan dengan orang tua saya."

"Pak, di rumah saya sederhana aja nggak papa. Acara makan-makan aja." Asma tetap bersikeras dengan pendiriannya.

"Asma ...." Ehsan menatap perempuan di depannya lekat. "Nggak papa. Kamu nggak usah memikirkan biaya. Oke?"

Asma mengembuskan napas. Pasrah. "Baik, Pak. Tapi, acara di rumah Bapak sederhana aja, ya. Kalau acaranya mewah. Saya malu. Bapak juga ... pasti malu, kan, menikah dengan mahasiswa sendiri?"

"Kenapa harus malu? Kita nanti menikah di depan penghulu, kan?"

"Pak ... Bapak nggak inget kalau pernikahan kita karena saling tolong menolong?"

"Tapi, saya serius menikahi kamu, Asma!" Ehsan tak mau kalah.

"Saya hanya nggak mau jadi bahan gosip di kampus, Pak. Bapak juga pasti akan jadi bahan gosip nantinya."

Ehsan terdiam. Lelaki itu membenarkan ucapan calon istrinya.

"Oke. Nanti saya diskusikan lagi dengan kedua orang tua saya."

***
Pernikahan Ehsan dan Asma digelar tiga minggu lagi. Kini, hanya tinggal menunggu cetak undangan saja setelah itu disebar.

Ketika Asma mengirim desain undangan pilihannya, Ehsan langsung setuju. Selera mereka ternyata sama. Sederhana, tapi tetap elegan. Desain undangan mereka berwarna hitam dan gold.

Asma juga sudah di rumah tiga hari yang lalu. Alia sempat ingin ikut pulang ke rumah Asma, tapi Alia takut dengan ibunya. Pasti tidak diperbolehkan karena jaraknya jauh.

"Asma, tolong antar bapakmu kontrol." Ratna bersuara setelah menjemur baju di halaman depan. "Pakdemu lagi pergi jadi nggak bisa nganter."

"Iya, Bu." Asma beranjak dari kursi. Dia baru saja membagikan undangan secara virtual kepada teman-teman SD, SMP dan MA-nya. Asma cukup aktif di grup WhatsApp jadi mengundang mereka di hari istimewanya nanti.

Mendadak MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang