𝘽𝘼𝙂𝙄𝘼𝙉 1

3 0 0
                                    

Kehidupan di Jakarta membuat Meredith muak. Dia selalu merengek minta kembali ke Australia, tapi sayangnya ibunya tidak mau mengizinkan. Ibu bilang "kamu sudah terlalu enak hidup di sana. Ibu tidak akan membiarkanmu jatuh cinta dengan negara lain, ayah ibu berasal dari Indonesia, maka dari itu, jadilah orang Indonesia kembali."

Ucapan ibu saat itu membuatku kesal sampai sekarang. Meredith benci ibu. Meredith benci ayah. Meredith benci keluarga. Meredith benci Indonesia. Dan Meredith benci hidup di dunia. Jika diizinkan untuk berpulang ke Yang Maha Kuasa, Meredith sangat menginginkannya. Tapi saat itu Meredith membaca sebuah quotes yang mengubah pikirannya,

"Jangan ambil keputusan sendiri,
jangan tinggalkan dunia dengan keputusan sendiri. Sendiri saja kamu masih tersesat, apalagi tanpa Tuhan, oleh karena itu tunggulah sampai dipanggil agar tidak tersesat menuju kerajaan Sorga."

Itu benar, Meredith mengurungkan niatnya. Meredith akhirnya merebahkan diri di kasur empuknya, berusaha memikirkan bagaimana perjalanan hidupnya 5 tahun ke depan.

Hingga seseorang mengetuk pintu yang membuat Meredith tersentak kaget. Dengan rasa malas ia berjalan menuju pintu dan membuka pintu kamarnya.

"Ada apa?" tanya Meredith saat melihat bahwa ibunyalah yang mengetuk.

"Ibu punya kabar baik," balas ibunya dengan senyum sumringah.

"Oh ya, apa?" Meredith menyeringai.

"Minggu depan kamu ke desa ya. Tempat kakek dan nenek."

"Ha? Apaan? Ga segampang itu dong bu! Siapa juga yang setuju ke desa. Meredith minta ke negara maju, malah semakin dibawa ke pelosok. Ibu ini makin gila atau gimana?" ujar Meredith dengan amarah.

"Tertinggal apanya? Ayah dan ibu udah mikirin ini matang-matang, agar kamu bisa merasakan vibes yang berbeda. Jangan di kota terus. Anggaplah kamu kayak tinggal di Aussie. Atau anggaplah kalau kamu lagi mau vacation atau staycation, atau apalah."

"Vacation? Memangnya sampai kapan disana?"

"Kira-kira 3 sampai 5 bulan aja."

"Ha? Aja? Haha. Apaan macam gitu. Pokoknya Meredith ga mau!" Meredith menutup pintu kuat.

Meredith menghembuskan napasnya kasar dan kembali merebahkan dirinya di kasur.

"Sampai kapan ini begini, ya Tuhan," gumam Meredith.


--- 𝕸𝖊𝖗𝖊𝖉𝖎𝖙𝖍 : 𝕾𝖊𝖒𝖆𝖓𝖌𝖌𝖎 𝕭𝖊𝖗𝖉𝖆𝖚𝖓 𝕰𝖒𝖕𝖆𝖙 ---

Meredith duduk di atas batu di tepi pantai. Menatap aneh dan kebingungan ke arah matahari yang hampir tenggelam.

"Tempat apa ini?" gumamnya. "Sejak kapan aku ada di sini?"

"HALOOOO!! APA ADA ORANG!? TOLONG AKU!" teriak Meredith berharap ada orang.

Meredith turun dari batu, berlari menuju timur. Berlari lambat, lambat, semakin cepat, dan akhirnya semakin cepat. Mata Meredith tiada hentinya menatap sekeliling, tapi tanda-tanda kehidupan tidak ditemukannya. Bangunan atau pohon apapun tidak ada di sana.

"HALOOO!!" teriaknya lagi.

"Tolongg aku!"

Meredith tetap berlari sambil berteriak, berharap ada orang yang muncul sekalipun orang itu mengerikan.

Bibir Meredith akhirnya melukiskan sebuah senyuman, saat dirinya melihat beberapa pepohonan. Hutan.

"Meredith beranikan dirimu, itu adalah hutan. Jangan takut. Jangan takut. Jangan takut. JANGAN TAKUT!!!" ucapnya menguatkan dirinya sembari berlari menuju hutan.

Dia mengitari sisi hutan, mencari keberadaan makhluk hidup sejenisnya. Hingga ia menemukan sebuah gubuk, sisi samping atap yang terbuat dari daun kelapa itu mengeluarkan asap bakaran. Sepertinya seseorang memasak dengan kayu bakar.

Meredith menenangkan dirinya yang takut, dan memberanikan diri.

Perlahan ia melangkah ke depan gubuk tersebut.
"Halooo....A-ada orang di sini?" tanya Meredith sedikit takut.

Tiba-tiba seseorang berbadan besar keluar dari rumah itu. Tepatnya itu seorang pria tua namun bertubuh besar. Tangannya memegangi sebuah centong. Benar, sepertinya dia sedang memasak.

"Halo, a-aku Meredith. Bi-bi-bisa anda tunjukkan jalan pulang kepada saya? Sa-saya tidak tahu ini dimana."

"Bangunlah dan pergilah ke rumah kakek dan nenekmu. Jawabannya ada di sana," jawab pria tua itu.

Suaranya begitu menyeramkan. 'Apakah dia penyihir?' tanya Meredith dalam hati.

"A-apa!? Kenapa? Aku sudah bangun. Kenapa aku harus ke rumah kakek dan nenekku?"

"Dengarkanlah ini. Sebuah pelangi tak pernah ada di sana. Sebuah jiwa menunggu jiwa lain. Ada jiwa yang terikat dan tak pernah tumbuh. Jiwanya tertahan oleh pohon. Pohon yang tidak bisa dilihat oleh sembarang mata. Kemajuan dan perubahan di sana hanya akan muncul jika zebra berjalan bersama dan menemukan hijau tosca itu menyala."

"Apa sih? Anda sedang berpuisi? Anak indie ya?" tanya Meredith kebingungan.

Tapi sebelum semua itu terjawab, tiba-tiba rumah itu roboh. Sebuah pohon besar menarik pria tua itu. Meredith langsung berlari tanpa ada aba-aba. Dirinyaa benar-benar ketakutan. Akar-akar pohon yang dia lalui mulai bergerak menangkap dirinya. Hingga dia tak bisa lari kembali, akar pohon itu mulai melilit dirinya erat hingga ke kepala.

"AAAAAAAA...." teriak Meredith dan bangun dari tidurnya.

Napasnya tersenggal-senggal. Matanya menatap sekeliling dan menyadari bahwa dia ada di kamar. Dia tertidur.

"I-itu hanya mimpi," gumamnya.

Kemudian ia memeluk kakinya dan menangis.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
-Lilidorara.
》》Semanggi Berdaun Empat《《

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Semanggi Berdaun EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang