2.

165 11 0
                                    

"Dazai," ia memanggil dengan kata yang pelan, seolah memujuk.

Orang yang disebut menoleh dengan senyuman melebar seperti biasanya, dia tetap dia.

"Hum, apa, Kunikida?" Nada bicara lembut tersusun. Ia menoleh dengan rambut yang ikut bergerak.

Kunikida malah menggigit bibir bagian dalam. Ia jadi ragu untuk mengatakan kalimat yang ingin ia tutur tadi.

Lihat saja wajah polos dan senyum lebar manisnya itu. Bagaimana bisa seseorang tega mengatakan ini? Jika ada pun seseorang itu, maka itu bukan dia.

Dazai menaikkan sebelah alis, sekarang Kunikida terlihat aneh. Seolah tadi tampak ingin bicara, sekarang justru ragu dan enggan membuka mulut.

"Kunikida? Ada apa?" Dia bertanya lebih jelas, masih di nada yang sama.

"Aku hanya sedikit penasaran, Dazai."

"Hum..? Apa itu?"

"Bagaimana caramu tersenyum, begitu? Tidakkah kau lelah?"

Mendengar tanda tanya itu, Dazai tersenyum simpul. "Biar aku jelaskan sedikit, ya." Dia berujar pelan.

Kunikida tercekat, sedikit menegang entah kenapa. Menanti kalimat lanjutan Dazai.

"Kalau bisa minta sesuatu, kamu mau apa?" Namun bukannya jawaban yang ia dapat, torehan tanda tanya terukir.

Sejenak dia berpikir. Sesuatu seperti apa?

"Mungkin, sesuatu yang menemaniku hingga tua." Jawab Kunikida kemudian.

Surai coklat membuat tatapan sendu dan senyuman manis lagi. Hati seseorang yang melihatnya layak diiris. Selalu pedih kala lengkungan yang tercipta tampak seperti sekarang.

"Sama denganku, namun sedikit berbeda," ujar Dazai. "Aku ingin punya rumah, aku ingin pulang."

Dia menghela nafasnya panjang, tampak posoh mulai terlihat kerut risau. Alis Kunikida lagi-lagi tertekuk, ia merasa sedih.

"Maka dari itu, sebelum aku pulang," tuturnya memuat penjelasan dengan banyak hela.

"Aku ingin menorehkan banyak senyum. Aku ingin orang-orang tau aku adalah manusia yang lucu. Dia dengan benak ramai ini, aku ingin mereka mengingatku sebagai Dazai yang tertawa paling lebar dengan tingkah konyolnya."

"Makanya, aku selalu membuatmu kerepotan, haha. Tapi memang benar, tidak ada di pikiran membuat mereka ingat aku sebagai manusia yang mengenggam seribu masalah dunia."

"Kunikida, aku hanya ingin tersenyum sebelum aku mati. Berbuat sebaik yang ku bisa, karna aku sudah lelah."

Sambung Dazai panjang, tiap kata ditelaah teliti bak pisau tajam menikam benak surai panjang halus dan tatapannya yang lembut. Lagi-lagi Dazai bertingkah demikian.

"Kenapa kau selalu membicarakan hal seperti ini?"

"Kenapa, ya?" Dia mengulang. Nada main-main diputar.

"Mungkin karna aku tidak akan membicarakan apa yang aku ucapkan sekarang ke selain kamu, Kunikida."

Netra coklat Dazai perlahan menghilang. Tenggelam di senyuman hingga matanya menyipit. Ia menunjuk dada Kunikida pelan. Seolah memberi penekanan dan berusaha yakin jika apa yang ia ucap benar.

Sementara mata hijau itu? Dia melirik langsung ke lain arah. Enggan terpama lagi pada lengkungan yang begitu manis dengan racun pemabuk.

Namun patokan pemikirannya saat ini berada di jari telunjuk yang mengarah ke dadanya tadi. Jantung berdegup kencang hingga sakit. Dan nafasnya yang memberat.

AMAN DENGANKU (Dazai X Kunikida / Kunikida X Dazai (Switch))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang